New York (ANTARA) - Setelah delapan orang tewas pada penembakan pekan lalu di tiga lokasi spa di Atlanta, termasuk enam perempuan keturunan Asia, Stefany Stuber duduk dengan putri berusia 7 tahunnya, Olivia.

"Saya merasa ini adalah waktunya untuk berbicara dan menyikapi situasi ini, menjelaskan fakta bahwa ini telah terjadi begitu lama," kata Stuber yang merupakan seorang bartender berusia 40 tahun, keturunan Korea-Amerika Serikat, yang tinggal di Philadelphia.
Olivia penuh perhatian dan reseptif, kenang ibunya, dan seperti yang sering dilakukan anak-anak, menghujani dia dengan pertanyaan-pertanyaan sulit.
 
"Dia bertanya kepada saya mengapa seseorang menyakiti orang lain hanya karena mereka orang Asia," kata Stuber. "Apakah seseorang ingin menyakitiku hanya karena penampilanku?"
 
Di seluruh Amerika Serikat, orang keturunan Asia-Amerika dan Asia terhenyak mendengar berita penembakan itu. Otoritas menyebut pria berkulit putih, 21 tahun itu membeberkan bahwa dia memiliki kecanduan terhadap seks dan mungkin tak bertindak atas motivasi terkait rasisme.
 
Namun setelah satu tahun di mana laporan atas kejahatan rasial terhadap orang keturunan Asia, terlepas dari negara asal mereka, melonjak, pertumpahan darah itu menyebabkan lebih banyak kemarahan, ketakutan dan tuntutan atas respon pemerintah.
 
Para advokat hak-hak manusia mengatakan bahwa lonjakan itu, dengan latar belakang sejarah yang begitu panjang terkait diskriminasi, secara garis besar merupakan akibat dari warga Amerika keturunan Asia yang disalahkan atas pandemi virus corona, yang pertama kali muncul di Wuhan, China pada akhir 2019.
 
Mantan presiden AS Donald Trump berulang kali menyebut COVID-19 sebagai 'Virus China' dan 'kung flu', retorika yang banyak disebut sebagai sentimen anti-Asia yang berkobar.


Percakapan sulit
 
Stuber diadopsi oleh pasangan kulit putih dan tumbuh di area Ivyland di Bucks County, Pennsylvania, daerah pinggiran kota yang secara mayoritas diisi oleh warga kulit putih konservatif. Paparan terhadap budaya Asia sangatlah minim, bahkan tidak ada sama sekali, katanya.
 
Meski dia tak pernah meragukan kasih sayang keluarganya, Stuber mengatakan bahwa dia telah terbiasa memilah-milah komentar dan pengalaman yang meninggalkan dampak mendalam. Di antara contoh yang melekat adalah apa yang dia gambarkan sebagai "nama panggilan" yang diberikan oleh sejumlah anggota keluarga besar, termasuk "Ching Wong" dan "konichiwa kecil".
 
"Saya mengerti niat di balik itu, namun saya juga mengerti ketidakpahaman di balik itu, dan saya mengerti bagaimana itu berdampak pada perasaan saya," kata Stuber.
 
Sebagai orang tua, dia telah berupaya untuk memuliakan darah Korea yang ada dalam dirinya dan putrinya namun juga terbuka pada Olivia terkait rasisme dan diskriminasi.
 
"Saya ingin dia mengerti karena saya pikir, setidaknya bagi saya, memahami hal-hal ini adalah langkah pertama untuk menemukan solusi," kata Stuber.
 
Psikolog dan profesor yang berbasis di Los Angeles, Dr Michi Fu, mengatakan bahwa alamiah bagi orang tua untuk mencoba menahan diskusi terkait topik-topik yang sulit "karena mereka merasa mereka tidak memiliki alat-alat yang tepat atau mereka merasa mereka harus mengatakan sesuatu yang sempurna".
 
Trauma atas rasisme, baik yang dialami secara personal atau disaksikan secara langsung atau tidak langsung, dapat membawa akibat yang mengerikan terhadap kesehatan mental dan fisik seseorang, kata Fu.
 
"Jika para perawat kita dapat memberikan contoh dengan bersuara, itu dapat memberikan pesan yang sangat jelas."
 
Bersamaan dengan katalis baru terhadap sentimen anti-Asia, isolasi yang diakibatkan oleh pandemi juga dapat melindungi sejumlah anak dari mengalami tindakan itu secara langsung, saat mereka kebanyakan harus berada di rumah dan tidak pergi ke sekolah.
 
Yoko Kobayashi mengatakan dia dan suaminya mungkin akan mendiskusikan peningkatan kebencian anti-Asia dan beberapa kejadian dalam setahun terakhir dengan putra 11 tahun mereka, sebagai bagian dari percakapan kembali ke sekolah yang lebih luas.
 
Anak mereka kemungkinan akan kembali belajar tatap muka pada akhir Agustus.
 
"Dalam konteks apa yang mungkin akan kami bahas, adalah sejumlah isu terkait beberapa hal yang terjadi dalam satu tahun terakhir ini," kata Kobayashi, seorang warga negara Jepang yang tinggal di Washington, Virginia.
 
Di Floral Park yang kecil di New York, Annie Lee telah menghadapi kesulitan. Lee ingin para putranya, yang berusia 4,5 dan 9 tahun untuk menyadari adanya potensi ancaman. Namun dia khawatir mereka akan ketakutan mengingat usia mereka yang begitu muda.
 
"Saya ingin mereka memiliki masa kanak-kanak yang normal dan tak harus khawatir terkait hal-hal tertentu," kata warga Amerika keturunan Taiwan berusia 40 tahun itu. "Namun pada saat yang sama saya ingin mereka melindungi diri jika sesuatu terjadi."
 
Sejauh apa anak-anak mereka perlu menyadari adanya diskriminasi yang mungkin dapat mereka hadapi telah menjadi topik diskusi antara Lee dan suaminya Kenji, yang kerap menjadi target perundungan dan penghinaan rasial saat tumbuh besar.
 
"Bahwa sekarang kami memiliki dua anak laki-laki adalah sesuatu yang sangat, sangat menonjol dalam pemikirannya dan bagaimana mengajar anak-anak kami dan bagaimana melindungi diri mereka sendiri, sehingga kami melakukannya, kami memiliki pandangan yang berbeda tentang itu," kata Lee, yang bersama ibu-ibu lain dari keturunan Asia menyuarakan pentingnya peningkatan kesadaran akan lonjakan serangan dan diskriminasi di distrik sekolah mereka.
Baca juga: Rihanna hingga CL angkat suara tolak kekerasan anti-Asia di AS
Baca juga: Ratusan orang di Atlanta demo pascapenembakan fatal di spa


Sumber: Reuters

Editor: Suharto
Copyright © ANTARA 2021