Tokyo (ANTARA) - Kebijakan Uni Eropa (EU) untuk membatasi ekspor vaksin virus corona dapat menunda upaya imunisasi di Jepang, kata menteri Jepang yang bertanggung jawab atas kampanye vaksinasi, Selasa.

Sementara itu, pemerintah Jepang diperkirakan akan memperpanjang masa keadaan darurat dalam upaya untuk mengendalikan epidemi.

Jepang akan memulai kampanye vaksinasi bulan ini, lebih lambat dari kebanyakan negara ekonomi besar. Penundaan dapat menimbulkan keraguan tentang upaya pemerintah untuk mengamankan dosis vaksin yang cukup bagi semua orang sebelum Olimpiade Tokyo musim panas ini.

"Uni Eropa telah memberlakukan mekanisme transparansi ekspor ini, dan itu mempengaruhi jadwal pasokan vaksin ke Jepang," kata Taro Kono, menteri yang bertanggung jawab atas upaya vaksinasi, kepada wartawan.

Jepang mengandalkan para produsen vaksin asing dan Kono pekan lalu telah memperingatkan bahwa tumbuhnya sikap nasionalisme vaksin dapat menyebabkan tindakan pembalasan dan gangguan pada pasokan global.

Jepang telah mendapatkan hak atas lebih dari 500 juta dosis vaksin COVID dari beberapa pengembang vaksin Barat, dan jumlah dosis itu lebih dari cukup untuk 126 juta penduduknya.

Namun, ketergantungan pada produsen vaksin di luar negeri dan persyaratan bahwa vaksin harus melalui uji coba dalam negeri telah menunda program vaksinasi Jepang.

Stasiun televisi NHK pada Selasa melaporkan bahwa persetujuan pemerintah Jepang untuk vaksin Pfizer Inc kemungkinan diberikan pada 12 Februari.

Jepang telah melaporkan total 391.618 kasus infeksi corona, termasuk 5.832 kematian.

Peningkatan kasus COVID-19 yang terus-menerus telah merusak dukungan publik terhadap penyelenggaraan Olimpiade Musim Panas 2020 yang tertunda, yang dijadwalkan pada Juli-Agustus tahun ini.

Meski demikian, Perdana Menteri Yoshihide Suga dan kabinetnya bertekad bahwa Jepang tetap menjadi tuan rumah Olimpiade.

Tingkat infeksi corona di Jepang telah turun dalam beberapa hari terakhir tetapi pemerintah harus tetap berhati-hati, kata seorang pejabat tinggi.

"Kami akan menanggapi wabah ini sebagai keadaan mendesak berdasarkan situasi medis dan penyebaran virus," kata kepala sekretaris kabinet Jepang Katsunobu Kato kepada wartawan.

"Jumlah kasus virus corona baru menurun, tetapi kehati-hatian masih diperlukan," kata Kato, seraya menambahkan bahwa rumah sakit tetap penuh dan tingkat kematian belum turun.

Suga akan membuat keputusan tentang perpanjangan masa keadaan darurat setelah rapat panel ahli pada Selasa sore.

Pemerintah Jepang bulan lalu memberlakukan keadaan darurat satu bulan untuk 11 daerah, termasuk Tokyo dan prefektur-prefektur sekitarnya serta kota barat Osaka, untuk memerangi gelombang virus corona ketiga dan paling mematikan di negara itu.

Langkah-langkah resmi untuk mengendalikan penyebaran virus corona telah terhambat oleh kurangnya tindakan hukum, termasuk sanksi apa pun, yang berarti pemerintah hanya dapat mengimbau orang untuk mengikuti arahan.

Namun, keadaan itu mungkin berubah akhir pekan ini dengan berlakunya revisi undang-undang tindakan khusus virus corona. UU itu akan memungkinkan pihak berwenang untuk mengenakan denda pada orang-orang yang melanggar hukum.

Dukungan untuk pemerintahan Suga telah berkurang karena banyak orang kecewa dengan langkah-langkahnya dalam menangani pandemi. Keadaan tidak semakin baik ketika beberapa anggota parlemen koalisi yang berkuasa mengaku melanggar peraturan dengan mengunjungi klub dan bar pada larut malam.

Satu anggota parlemen mengundurkan diri pada Senin (1/2) dan tiga lainnya meninggalkan Partai Demokrat Liberal (LDP) pimpinan Suga.

Sumber: Reuters

Baca juga: Perdana Menteri Suga pastikan Olimpiade Tokyo tetap sesuai jadwal

Baca juga: PM Suga sebut Jepang akan lindungi sistem kesehatan untuk lawan COVID

Baca juga: Survei: 80 persen warga Jepang ingin Olimpade Tokyo batal atau ditunda


 

Menpora prioritaskan vaksin COVID-19 bagi atlet yang berkompetisi pada 2021

Penerjemah: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021