Surabaya (ANTARA) - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur mendorong pemerintah untuk menunda pemberlakuan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) rata-rata sebesar 12,5 persen di tahun depan, sebab saat ini kondisi industri rokok sangat terpuruk karena mendapatkan berkali-kali hantaman.

Wakil Ketua Umum Bidang Industri Wajib Cukai, Kadin Jatim, Sulami Bahar di Surabaya, Rabu mengatakan pada tahun 2020, kenaikan terjadi sangat tinggi mencapai 23 persen untuk tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan 35 persen untuk kenaikan Harga Jual Eceran (HJE).

Hal ini membuat produksi menurun dan berdampak pada pengurangan tenaga kerja dan rasionalisasi, berkurangnya penyerapan bahan baku tembakau dan cengkeh.

"Belum lagi bernafas, ada pandemi yang hingga saat ini belum terselesaikan. Belum lagi bernafas, ada kenaikan tarif cukai lagi. Artinya, dengan kejadian-kejadian seperti itu, kami khawatir, mau tidak mau industri rokok akan lakukan efisiensi, mengurangi jam kerja dan tenaga kerja," kata Sulami dalam acara Kadin Jatim Talk dengan tema "Dampak Kebijakan Cukai Rokok di Situasi pandemi dalam Perekonomian dan Sosial Masyarakat" yang digelar secara daring.

Baca juga: Peredaran rokok ilegal diperkirakan meningkat di Sumbagtim

Oleh karena itu, Sulami berharap tidak terjadi kenaikan, sebab akan lebih bahaya lagi, yakni menyebabkan peredaran rokok ilegal semakin marak.

"Jika kenaikan tarif cukai sebesar 12,5 persen tersebut betul-betul dilaksanakan pada awal Februari 2021. Saya memprediksi peredaran rokok ilegal akan mengalami kenaikan menjadi 6 persen. Padahal peredarannya di tahun 2017 hingga 2019 bisa ditekan," katanya.

Ia mencatat, pada tahun 2016 peredaran rokok ilegal mencapai 12,1 persen, di tahun 2017 turun menjadi 10,9 persen, tahun 2018 turun menjadi 7 persen dan tahun 2019 bisa ditekan hingga 3 persen.

"Karena harga rokok semakin tidak terjangkau. Dan sebenarnya rokok mahal ini tidak akan berdampak pada pengurangan prevelensi perokok, tetapi yang ada mereka justru beralih mengonsumsi rokok lebih murah. Kalau beralihnya pada rokok golongan II dan golongan III masih bagus, tetapi kalau beralih ke rokok ilegal, itu akan berdampak pada pengurangan pendapatan negara," katanya.

Baca juga: Penerimaan cukai rokok capai Rp146 triliun

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mengatakan, akibat tingginya kenaikan cukai di tahun 2020 mengakibatkan produksi turun 2,2 persen hingga 3,3 persen. Dan angka prevalensi perokok nasional menurun dari 29,3 persen menjadi 28,8 persen.

Sementara angka prevalensi perokok remaja dan anak justru tetap naik dari 8,8 persen menjadi 9,1 persen.

"Ini artinya, tujuan pemerintah untuk menekan angka perokok anak dan remaja tidak tercapai dengan menaikkan harga jual rokok. Harusnya pengendalian konsumsi rokok dilakukan melalui pendekatan edukasi dan bukan dengan menaikkan CHT dan HJE," tuturnya.

Baca juga: Komnas minta petani tidak khawatir kenaikan cukai rokok

Sementara itu, anggota Komisi B DPRD Jawa Timur, Daniel Rohi yang hadir dalam kegiatan itu mendesak pemerintah untuk kembali mengkaji dan menunda pemberlakuan kenaikan tarif CHT yang rata-rata sebesar 12,5 persen di tahun 2021. Hal ini penting karena industri rokok adalah industri yang memberikan kontribusi besar terhadap negara.

"Sebagai wakil rakyat dari Provinsi Jatim yang menghasilkan tembakau terbanyak nomor satu di Indonesia dan penyumbang cukai rokok terbesar, yaitu sebesar Rp91 triliun, kami mohon pemerintah pusat untuk menunda kenaikan cukai rokok. Memandang di tengah pandemi ini para perusahaan rokok dan para petani dalam kesulitan. Kalau kenaikan dipaksakan, maka akan timbul dampak negatif," katanya.

Baca juga: ITB AD sambut baik kenaikan cukai rokok
Baca juga: Keputusan pemerintah menaikkan cukai rokok dipuji kalangan kesehatan

Pewarta: A Malik Ibrahim
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020