Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Ahmad M. Ramli, mengatakan sedang memformulasikan aturan untuk layanan Over-The-Top (OTT).

Hal ini, menurut Ramli, dilakukan pemerintah untuk melindungi industri domestik agar tetap bisa tumbuh dan terjaga dengan baik, namun juga tidak menghilangkan hak-hak masyarakat untuk bisa mendapat layanan terbaik dari OTT.

"Jadi, pemerintah tidak absen di sini. Untuk kebijakan dan regulasi terkait dengan OTT, ada yang rigid ada pula yang fleksibel. Kita tidak perlu terlalu ke kiri dan tidak perlu terlalu ke kanan sebetulnya, kita akan cari yang paling proposional," ujar Ramli dalam acara diskusi virtual, Rabu.

Aturan yang rigid atau kaku telah diimplementasikan oleh sejumlah negara, termasuk China dan Timur Tengah. Beberapa negara di wilayah tersebut ada yang melarang penggunaan WhatsApp call, misalnya. Ada pula negara yang melarang kehadiran OTT tertentu.

Sementara, aturan yang fleksibel, memungkinkan OTT memberikan layanan apapun, mulai dari Services, Content and Messages, hingga Devices. Aturan ini banyak diadopsi oleh negara di dunia.

Penerapan kedua aturan tersebut, menurut Ramli, tergantung kepada ekosistem. Ketika ekosistem di suatu negara sudah terbentuk dan berada di rezim yang rigid, maka seterusnya bisa dilakukan regulasi dengan mudah.

Sebaliknya, jika ekosistem pada suatu negara telah terbentuk, dan masyarakat di dalamnya sudah terlanjur menikmati kemudahan yang ditawarkan OTT, termasuk layanan panggilan suara maupun video misalnya, sulit bagi negara itu untuk kemudian membuat regulasi yang mendekati negara yang rigid.

Pilihan lainnya, selain aturan rigid dan fleksibel, Ramli mengatakan, adalah aturan bersifat progresif dan sui generis (aturan khusus untuk hal yang bersifat spesifik atau unik), atau integratif.

Sui generis artinya akan ada Undang-Undang tersendiri yang mengatur tentang OTT, sedangkan integratif berarti UU tentang OTT akan dimasukkan dalam UU Telekomunikasi atau UU Penyiaran yang baru, atau UU lainnya.

Sementara, melihat disrupsi yang ditimbulkan oleh OTT berdampak pada seluruh industri -- tidak hanya telekomunikasi dan broadcasting, namun juga transportasi hingga jasa kurir -- Ramli mengatakan perlu peraturan yang bersifat konvergen, sebab akan saling beririsan satu sama lain.

"Tidak mungkin satu aturan OTT yang ada di UU Tel tidak menyentuh dan tidak berpotongan dengan broadcasting, itu pasti punya intersection. Oleh karena itu kita melihat perlu ada aturan yang sifatnya konvergen," kata Ramli.

Menurut Ramli, pendekatan yang perlu dilakukan kepada OTT adalah mutualistic colaboration, kolaborasi saling menguntungkan yang meminimalisasi disrupsi yang sudah terjadi saat ini, dan mengantisipasi disrupsi yang lebih luas ke depannya. Oleh sebab itu diperlukan adanya inovasi dan penemuan-penemuan baru sehingga industri diharap memiliki pusat riset dan pengembangannya.

"Karena memang kita memasuki industri 4.0. Inilah yang memaksa kita semua memasuki sesuatu. Pilihannya adalah terdisrupsi atau bertransformasi," ujar Ramli.

Salah satu yang menjadi perhatian dan telah menjadi arahan Presiden RI Joko Widodo adalah transformasi digital. Kementerian Komunikasi, di bawah komando Menkominfo Johnny G. Plate, saat ini telah melakukan berbagai upaya dalam percepatan digital, mulai dari infrastruktur hingga regulasi.


Baca juga: Kata Andibachtiar Yusuf soal keberadaan video OTT saat pandemi

Baca juga: Kemenparekraf nilai layanan OTT bisa promosikan film Indonesia

Baca juga: Pemerintah diminta segera terbitkan aturan tata kelola OTT

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2020