Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan untuk mewujudkan masyarakat yang sadar dan "melek" terhadap mitigasi bencana harus dibangun sejak dini.

"Untuk menciptakan generasi yang melek mitigasi harus dibangun sedini mungkin, karena kalau sudah berumur hal baru sulit untuk menjadi kebiasaan," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono dalam webinar di Jakarta, Selasa.

Baca juga: BMKG gelar latihan mitigasi hadapi tsunami "IOWave 2020"

Baca juga: Tak cukup sistem peringatan tsunami, edukasi warga harus berlanjut


Dalam Webinar meneropong ancaman megathrust Selatan Jawa dan bagaimana upaya mitigasinya, Daryono mencontohkan seperti Jepang yang sama dengan Indonesia, yaitu rawan terhadap gempa dan tsunami, mitigasi sudah menjadi kebiasaan hidup.

Kebiasaan tersebut tidak dibangun dalam waktu singkat, tapi membutuhkan waktu yang pajang dan semua terlibat, baik orang tua maupun anak-anak.

Salah satu upaya BMKG untuk mengedukasi mitigasi bagi anak-anak melalui program BMKG Goes to School yang mengajarkan tentang gempa bumi, tsunami serta mitigasinya.

Di wilayah selatan Jawa yang rawan tsunami, BMKG telah melaksanakan beberapa kali kegiatan tersebut, seperti di Jawa Timur di 22 sekolah, 18 sekolah di DI Yogyakarta, 20 sekolah di Jawa Tengah, 60 sekolah di Jawa Barat dan lima sekolah di Banten.

"Kurikulum mitigasi itu penting, kita bisa seperti Jepang, tapi memang butuh waktu yang panjang," katanya.

Baca juga: Antisipasi tsunami, MPR minta pemda di selatan Jawa giatkan mitigasi

Ia menambahkan kearifan lokal di masyarakat perlu digali dan dihidupkan kembali, seperti "Smong" yang artinya tsunami di Simeulue, Provinsi Aceh. Ketika gempa dan tsunami terjadi pada 2004, warga langsung paham telah terjadi smong, sehingga langsung menyelamatkan diri dan mengurangi dampak korban jiwa.

Guru Besar Seismologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Sri Widiantoro dalam webinar tersebut mengatakan secara umum upaya mitigasi sederhana yang bisa dilakukan ketika merasakan guncangan gempa yang cukup lama atau tidak lama tapi kuat harus segera lari dari kawasan pantai.

"Yang lebih berbahaya lagi kalau guncangannya tidak terasa, tapi alam memberi tanda seperti air laut di pantai surut, harus bisa evakuasi mandiri," katanya.

Mitigasi dalam bentuk lain, seperti di Kamaishi Jepang dibangun pemecah gelombang (breakwater) dari beton, namun secara alami bisa dengan hutan pantai yang dapat menahan tinggi gelombang tsunami.

Baca juga: BMKG: Kajian gempa-tsunami harus direspons upaya mitigasi nyata

Baca juga: BNPB: Masyarakat diminta terus tingkatkan pengetahuan mitigasi tsunami

Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020