Sejak awal penyidikan menyampaikan tidak mau menimbulkan fitnah bagi pihak-pihak yang namanya selalu dikait-kaitkan dengan perkara....
Jakarta (ANTARA) - Jaksa Pinangki Sirna Malasari mengklaim tidak pernah menyebut nama mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada masa penyidikannya di Kejaksaan Agung.

"Perihal nama Bapak Hatta Ali (mantan Ketua Mahkamah Agung) dan Bapak S.T. Burhanudin (Jaksa Agung RI) yang ikut dikait-kaitkan namanya belakangan ini dalam permasalahan hukum terdakwa, sama sekali tidak ada hubungannya dan terdakwa tidak pernah menyebut nama beliau dalam penyidikan dan penuntutan perkara terdakwa," kata pengacara Pinangki, Jefri, saat membacakan nota keberatan (eksepsi) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Pinangki yang juga hadir dalam persidangan memilih untuk tidak membacakan nota keberatan secara pribadi. Pinangki yang kali ini mengenakan gamis biru telur asin lengkap dengan jilbab warna senada itu hanya duduk mendengarkan nota keberatan yang dibacakan penasihat hukumnya.

Baca juga: Telisik perjalanan Jaksa Pinangki, Kejagung periksa pejabat Imigrasi

Dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) disebutkan bahwa pada tanggal 25 November 2019, Pinangki bersama Anita Kolopaking dan Andi Irfan kemudian bertemu Joko Tjandra di kantornya di The Exchange 106 Kuala Lumpur, dalam pertemuan itu.

Pinangki menyerahkan action plan yang terdiri atas 10 tahap dan melibatkan nama Jaksa Agung dan Ketua MA periode Maret 2012—April 2020 Hatta Ali.

"Banyaknya pihak yang seakan-akan terseret dalam kasus ini dapat kami sampaikan dalam momen ini, penyebutan nama pihak-pihak terebut bukanlah atas pernyataan terdakwa dalam penyidikan," kata Jefri menambahkan.

Namun, lanjut dia, karena ada orang-orang yang sengaja mau mempersalahkan terdakwa, seolah-olah dari terdakwalah yang telah menyebut nama pihak-pihak tersebut.

Menurut Jefri, kliennya sejak awal penyidikan menyampaikan tidak mau menimbulkan fitnah bagi pihak-pihak yang namanya selalu dikait-kaitkan dengan perkara itu.

"Terdakwa hanya tahu Bapak Hatta Ali sebagai mantan Ketua Mahkamah Agung namun tidak kenal dan tidak pernah berkomunikasi dengan beliau," ungkap Jefri.

Baca juga: Komjak: Usut politisi terlibat kasus Djoko S Tjandra

Pinangki juga membantah berkomunikasi dengan Jaksa Agung S.T. Burhanuddin.

"Terdakwa hanya tahu Bapak S.T. Burhanudin sebagai atasan atau Jaksa Agung di institusi tempat terdakwa bekerja namun tidak kenal dan tidak pernah berkomunikasi dengan beliau," tambah Jefri.

Menurut Jefri, proses yang dijalani kliennya selama ini sudah sangat berat.

Ia berharap semua pihak objektif untuk melihat permasalahan ini dari sisi hukumnya saja, tidak mencampurkan opini-opini yang cenderung menyudutkan dan mempersalahkan Pinangki.

"Terdakwa khawatir perkara yang membelitnya ini dijadikan alat untuk menjatuhkan kredibilitas pihak-pihak lain. Sibuknya pihak penyidik kejaksaan selama ini menjawab isu yang muncul dari sumber yang tidak diketahui berasal dari mana, tentu menjadi tantangan dan tekanan tersendiri," ungkap Jefri.

Baca juga: Pinangki didakwa lakukan pemufakatan jahat untuk bantu Joko Tjandra

Dalam dakwaan disebutkan bahwa Joko Tjandra telah memberikan uang 500.000 dolar AS (sekitar Rp7,4 miliar) kepada Pinangki melalui Andi Irfan Jaya.

Pinangki lalu memberikan uang sebesar 50.000 dolar AS (sekitar Rp740 juta) kepada advokat Anita Kolopaking.

Akan tetapi, action plan yang diajukan Pinangki tidak ada satu pun yang terlaksana sehingga Joko Tjandra pada bulan Desember 2019 membatalkan action plan dengan cara memberikan catatan pada kolom notes dengan tulisan tangan "NO" kecuali pada action ke-7 dengan tulisan tangan "bayar nomor 4,5" dan "action" ke-9 dengan tulisan '"ayar 10 M" yaitu bonus kepada Pinangki bil Joko kembali ke Indonesia.

Dalam perkara ini jaksa Pinangki didakwa dengan tiga dakwaan, yaitu pertama dakwaan penerimaan suap sebesar 500.000 dolar AS (sekitar Rp7,4 miliar) dari terpidana kasus cessie Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra.

Kedua, dakwaan pencucian uang yang berasal dari penerimaan suap sebesar 444.900 dolar atau sekitar Rp6.219.380.900,00 sebagai uang pemberian Joko Tjandra untuk pengurusan fatwa ke MA.

Baca juga: Jaksa Pinangki didakwa lakukan cuci uang dari "fee" Joko Tjandra

Ketiga, dakwaan pemufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya dan Joko Tjandra untuk menyuap pejabat di Kejagung dan MA senilai 10 juta dolar AS.

Sidang akan dilanjutkan pada hari Rabu, 7 Oktober 2020, untuk mendengarkan pendapat penuntut umum atas eksepsi.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020