Bandung (ANTARA) - Direktur Reserse Narkoba Polda Jawa Barat, Kombes Pol Rudi Ahmad Sudrajat mengatakan rumah produksi obat keras dan berbahaya yang ada di Komplek Kopo Permai, Kecamatab Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, sudah beroperasi selama tujuh tahun atau sejak 2013.

"Rumah ini rumah kontrakan, pemiliknya masih kami dalami juga karena belum jelas, yang jelas ini rumah kontrakan yang sudah di kontrak selama tujuh tahun, digunakan sebagai tempat produksi pil," kata Rudi di lokasi, Jumat.

Rudi menjelaskan obat yang diproduksi itu berjenis trihexypenidyl. Obat tersebut termasuk dalam psikotropika golongan IV yang peredarannya dan konsumsinya memerlukan resep dokter.

Baca juga: Polisi temukan 1,05 juta pil obat keras dari rumah produksi di Bandung

Obat tersebut biasa digunakan sebagai penenang dan juga digunakan mengobati gejala penyakit parkinson atau gerakan lainnya yang tidak bisa dikendalikan, yang disebabkan oleh efek samping dari obat psikiatri tertentu.

"Obatnya bisa membuat jadi halusinasi, obat penenang," katanya.

Di rumah itu sendiri terdapat beberapa ruangan, seperti rumah pada umumnya. Ruangan-ruangan di rumah tersebut nampak sangat kotor layaknya tidak berpenghuni.

Sejumlah ruangan atau kamar di rumah tersebut digunakan sebagai tempat penyimpanan karung serbuk bahan baku obat keras tersebut. Rudi mengatakan pihaknya mendapati sebanyak 44 karung bahan baku yang terdiri dari lima jenis bahan kimia.

"Kami juga menemukan sampah produksi, memang masih banyak di dalam rumah. Dan mungkin dibuang pada saat-saat tertentu saja," katanya.

Kemudian di ruangan produksi, terdapat satu mesin besar yang diduga digunakan untuk mencetak pil obat keras itu. Ruangan tersebut, kata dia, dibuat menjadi kedap suara hingga untuk menghilangkan kecurigaan masyarakat sekitar.

Baca juga: Polres Gunung Kidul tangkap pengedar 14.090 pil trihexypenidyl

Dalam satu hari, menurutnya tempat tersebut bisa memproduksi 100 ribu hingga 200 ribu pil obat keras tersebut. Obat itu menurutnya disebarkan ke Jakarta dan ke Surabaya.

"Masyarakat tidak pernah mengetahui kegiatan yang ada di dalam rumah, ternyata setelah kita cek, di sekitar mesin itu menggunakan peredam suara. Jadi kegiatan yang ada di dalam pun masyarakat tidak mengetahui," katanya.

Dari kasus tersebut Direktorat Reserse Narkoba Polda Jawa Barat bersama BNN mengamankan empat orang tersangka bernama Sarman, Kholik, Rahmat, dan Tanto. Mereka memiliki berbagai peran, di antaranya sebagai pengendali, pencetak obat, dan pencampur bahan baku obat tersebut.

Atas perbuatannya, mereka dijerat dengan Pasal 196 dan Pasal 197 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tentang produksi dan peredaran obat-obatan ilegal, serta Pasal 55 Ayat 1 dan Pasal 56 Ayat 1 KUHPidana dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar.

Baca juga: Hidroksiklorokuin-deksametason obat keras, masyarakat dilarang gunakan

Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020