Kabul, (ANTARA News) - Para pelaksana pemilihan presiden Afghanistan Senin mengumumkan Hamid Karzai menjadi presiden Afghanistan untuk lima tahun berikutnya, membatalkan pilpres putaran kedua yang bisa mengancam kekacauan negara.

Dalam pengumuman yang dilanjuti dengan tindakan tekanan diplomatik dan mengimbau ketenangan dua bulan kekacauan politik di negara yang porak poranda karena perang, di mana 100.000 tentara NATO dan pasukan AS bertempur untuk mengatasi meningkatnya pemberontakan Taliban, sebagaimana dikutip dari AFP.

"Kami umumkan bahwa Hamid Karzai, menang mayoritas dalam pemungutan suara pada putaran pertama dan menjadi satu-satunya kandidat pada putaran kedua, terpilih sebagai presiden Afghanistan," kata Ketua Komisi Pemilihan Independen (IEC), Azizullah Ludin.

Satu-satunya penantang presiden adalah mantan menteri luar negeri Abdullah Abdullah, mengundurkan diri dari pemilihan Ahad, dengan tudingan tidak adanya keamanan untuk mencegah terulangnya kecurangan besar yang `melempar` hampir seperempat surat suara pada Agustus.

Pemimpin Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Ban Ki-moon bertemu dengan Karzai dan Abdullah di tengah upaya tekanan diplomatik untuk segera menghentikan kekacauan, yang bisa merusak upaya-upaya Barat untuk menumbuhkan demokrasi di Afghanistan delapan tahun setelah invasi yang dipimpin AS.

Ludin, yang ditunjuk Karzai untuk mengawasi kecurangan suara pada pilpres putaran pertama mengatakan, keputusan itu telah dibuat sesuai dengan ketentuan hukum pemilu Afghanistan dan konstitusi, serta konsisten terhadap keinginan tertinggi rakyat Afghanistan.

Komisi juga ingin menyelamatkan uang, memberikan jumlah besar yang diperlukan pemilihan dan menyebutkan alasan-alasan keamanan sebagai motif untuk membatalkan pemungutan suara, yang dijadwalkan akan dilakukan Sabtu ini.

Ban menyambut keputusan pembatalan pilpres putaran kedua dan menjadi tokoh dunia pertama yang mengucapkan selamat kepada Karzai, untuk masa jabatannya yang kedua.

Gedung Putih menyatakan Karzai adalah "pemimpin yang sah di negara itu", namun mengatakan, bahwa pihaknya mulai melakukan "percakapan berat" dengan presiden baru itu pada saat mempertimbangkan apakah akan mengirim ribuan tentara tambahan.(*)

 

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009