Jakarta (ANTARA) - Hak Kekayaan Intelektual telah menjadi isu strategis dan selamanya akan tetap menjadi isu strategis. Tidak ada satu sisipun dari kehidupan manusia hari ini yang tidak berhubungan dengan Hak Kekayaan Intelektual.

Mulai dari masyarakat yang tinggal di pedesaan sampai masyarakat perkotaan setiap hari berhubungan dengan hak kekayaan intelektual (HKI).

Tidak hanya hubungan sosial dalam masyarakat modern, akan tetapi dalam masyarakat yang hidup dengan pola-pola tradisional pun telah dimasuki oleh HKI.

Mulai dari sampo, sabun mandi, odol gigi, makanan, minuman, kacamata, buku, musik dan lagu, sinematografi, obat-obatan, sepatu, pakaian, hiburan, sendok makan, sampai pada mobil, pesawat terbang, alat-alat perang, semuanya berhubungan dengan hak kekayaan intelektual (HKI).

HKI sebagai intangible capital (modal tak berwujud), intangible asset (aset tak berwujud), memiliki nilai ekonomi yang membawa pengaruh besar dalam lalu lintas perdagangan barang dan jasa.

Hingga akhirnya pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada bulan April 1994 di Marakesh, di bawah kendali negara-negara industri maju dan mereka merasa memiliki kepentingan untuk memasukkan isu HKI ini dalam term perdagangan dunia.

TRIPs Agreement

HKI menjadi salah satu isu yang dituangkan dalam Marakesh Convention 1994 yang dikenal dengan The General Agreement on Tariff and Trade (GATT 1994) sebagai hasil kesepakatan WTO, dengan berbagai konvensi ikutannya yang salah satu diantaranya adalah The Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Properti Right (TRIPs Agreement), yang telah diamandemen melalui Deklarasi Doha.

Baca juga: Indonesia-South Center bahas upaya selaraskan akses obat dan HKI

Semua aspek yang terkait dengan pelindungan hak kekayaan intelektual harus dihubungkan dengan perdagangan.

Di sinilah titik awal HKI memasuki dunia “kapitalis” yang sesungguhnya seperti ramalan Christoper May (2010) dalam bukunya The Global Political Economy of Intellectual Property Rights, HKI akan menjadi instrumen dalam percaturan politik ekonomi global.

Mereka yang akan menjadi pemenang dalam pertarungan ekonomi global ini akan berada dalam genggaman negara-negara pemilik HKI. HKI cepat atau lambat akan mengantarkan dunia pada kemenangan kapitalis.

Sejalan dengan apa yang diramalkan oleh Fukuyama (2003) dalam bukunya The End of History and The Last Man, bahwa dunia akan berakhir dengan kemenangan kapitalis. Jika Indonesia tidak mengantisipasinya secara tepat, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan tergilas dalam arus kemenangan kapitalis dalam pertarungan ekonomi global.

Padahal etika politik internasional atau kekuatan keberlakuan instrumen hukum internasional akan dapat dikesampingkan jika secara tegas pengaturannya dalam hukum nasional yang memuat ketentuan bahwa hukum internasional yang hendak diterapkan itu bertentangan dengan kaedah hukum nasional.

Fleksibilitas TRIPs Agreement

Sekalipun TRIPs Agreement selama ini dipahami sebagai instrumen kapitalis dalam perdagangan global, tetapi TRIPs Agreement dan Marakesh Convention, tetap membuka peluang akan adanya flexibilitas.

Khusus dalam bidang paten farmasi, lembaga penelitian Perguruan Tinggi, LIPI atau Lembaga Riset yang ada di bawah industri farmasi dalam negeri perlu melakukan penelitian dengan serius dan gunakan bahan baku obat-obatan yang tersedia di dalam negeri.

Kita jadikan COVID-19 ini sebagai landasan pembelajaran untuk memantik pengembangan industri farmasi dan industri kesehatan nasional. Indonesia perlu melakukan apa yang oleh Soedjatmoko (1986) disebutnya "penguatan dari dalam".

Dalam situasi COVID-19 ini Indonesia jangan terlalu berharap banyak dan menggantungkan penemuan vaksin dan obat-obatan kepada asing.

Baca juga: Kemenparekraf susun program monetisasi Hak Kekayaan Intelektual

Dalam sebuah seminar yang diprakarsai oleh APHKI- Kemenlu RI – Kedutaan Besar RI untuk Kanada (12 Juni 2020), Abdul Kadir Jailani, Duta Besar RI untuk Kanada menegaskan, banyak peluang yang dibuka oleh TRIPs Agreement yang disebutnya sebagai Flexibilitas TRIPs.

Wakil tetap RI untuk ICAO ini menegaskan bahwa TRIPs Agreement adalah sebuah universalizing the standards of IPR protection, Indonesia dapat membuat aturan sendiri menurut apa yang ia kehendaki.

Sayangnya dalam UDD 45 dan UU Paten No.13 Tahun 2016, Indonesia tidak memuat aturan yang spesifik untuk melindungi kepentingan hukum dalam negerinya, sehingga para perwakilan Indonesia dalam sidang-sidang WTO sulit untuk menunjukkan bahwa aturan yang dimuat dalam TRIPs Agreement bertentangan dengan hukum nasional Indonesia.

Terlepas dari agenda politik negara maju, TRIPs Agreement memuat elemen-elemen yang menyeimbangkan kepentingan negara maju dengan negara berkembang. Bahkan menurut Jailani TRIPs Agreement sebenarnya menguntungkan negara-negara berkembang, jika klausul-klausul dalam TRIPs Agreement itu dipahami dan dicermati secara tepat dalam undang-undang nasional.

Di sisi lain, Diplomasi memegang peranan penting, untuk mengecualikan pemberlakuan beberapa ketentuan dari TRIPs Agreement. Abdul Kadir Jailani dalam paparannya​​​​​​​ mengatakan Pasal 73 TRIPs Agreement adalah klausul fleksibilitas yang membuka peluang bagi Indonesia untuk mengatur dalam undang-undang nasionalnya mengenai pengecualian pemberlakuan ketentuan TRIPs Agreement.

Dalam bidang farmasi, khusus untuk Vaksin COVID-19 (jika telah ditemukan), pasal 27 (1,2) dan pasal 8 (1) juga membuka peluang agar Indonesia dapat memanfaatkan paten obat-obatan atau farmasi melalui skenario Paten Exclusion, Compulsory Licences, Security Exeption dan Waiver of Obligation, sayangnya hal demikian tidak ditemukan dalam UU Paten Indonesia (Undang-undang No.13 Tahun 2016) yang berlaku saat ini.

Oleh karena itu, Undang-undang No.13 Tahun 2016 tentang Paten, perlu diamendemen. Skenario ini perlu dilakukan Indonesia sebagai negara berkembang untuk mencegah abuse of patent rights (penyalahgunaan hak paten) yang menghalangi alih teknologi dan melanggengkan monopoli.

Itu yang harus dicermati oleh pembuat undang-undang Indonesia dan itu dapat dibenarkan sepanjang konsisten dengan TRIPs Agreement, akan tetapi tidak boleh memuat ketentuan yang membuka kemungkinan untuk tidak menerapkan paten, vide Pasal 73 TRIPs Agreement.

Marakesh Convention, lanjut Jailani, juga menentukan apabila seluruh menteri perdagangan negara-negara yang tergabung dalam WTO berkumpul dan sepakat untuk menyimpangi pemberlakuan TRIPs Agreement, maka TRIPs Agreement boleh disimpangi.

Baca juga: Ratusan potensi HKI Baubau diidentifikasi Balitbangda-Kemendagri

Bahkan jika mereka sepakat TRIPs Agreement itu pun boleh diamendemen. Intinya adalah TRIPs Agreement memiliki banyak klausul yang memuat fleksibilitas.

Menurut pandangan Jailani, TRIPs Agreement sebenarnya banyak menguntungkan negara-negara berkembang. Sayangnya itu tidak dimanfaatkan oleh legislatif kita. Peluang fleksibilitas yang ditawarkan oleh TRIPs Agreement tidak digunakan secara optimal oleh pembuat Undang-undang Paten Nasional Indonesia.

Indonesia dapat menolak permohonan paten dengan alasan untuk melindungi kesehatan, bahkan jika Indonesia memiliki kemampuan bisa langsung “copy” obat/vaksin tanpa harus membayar, vide Pasal 27 (2) TRIPs Agreement.

Ini yang ditemukan dalam UU N0.13 Tahun 2016. Undang-Undang Paten Indonesia, hanya membatasi pendaftaran paten jika bertentangan dengan agama, moralitas, ketertiban umum dan kesusilaan.

Dukungan Big Pharma

Dalam percaturan ekonomi global dalam situasi COVID-19, Indonesia akan semakin tinggi ketergantungannya dengan produk-produk farmasi dan alat-alat kesehatan yang berasal dari negara luar, karena sampai saat ini hampir 90 persen paten yang terdaftar di Indonesia dimiliki oleh negara maju.

Tanpa COVID-19 pun bangsa ini sedang menghadapi situasi ketergantungan kepada negara-negara industri maju yang notabene adalah negara-negara industri pemegang dan sekaligus pemilik HKI.

Begitupun Indonesia masih dapat menggunakan instrumen Compolsory License melalui negosiasi terhadap produk farmasi yang dipatenkan di Indonesia. Demikian juga apabila terjadi “national emergency” Compolsory License dapat langsung diterapkan tanpa didahului dengan negosiasi, melalui mekanisme Voluntary Exception.

Prinsipnya “supply domestic market” yang diatur dalam Deklarasi Doha bahwa terhadap negara yang rtidak mampu memproduksi melalui Compolsory License dapat mengimpor dari negara lain jenis obat yang sama yang telah diproduksi melalui mekanisme Compolsory License, meskipun dalam situasi COVID-19 sulit untuk diwujudkan.

Jailani mengakhiri paparannya dengan menyampaikan simpulan bahwa perlu ada Voluntary Pool for COVID-19, yakni mekanisme kesepakatan antara para pemegang HKI yang terakit dengan upaya pengumpulan kekayaan intelektual ke dalam satu manajemen kolektif dan akan diberikan hak non-eksklusif kepada pihak ketiga.

WHO membentuk “Pool” untuk mengumpulkan hak paten regulatory test data dan informasi lainnya serta HKI lain yang dapat diakses oleh semua negara untuk memproduksi obat/vaksin/alat test, baik dengan cara “free” atau dengan affordable licensing. Gagasan ini menurut Jailani hanya dapat terwujud jika mendapat dukungan dari Big Pharma  (perusahaan farmasi besar) dan “Key Countries” (negara-negara kunci).

Kelemahan UU Paten

UU No.13 Tahun 2016 tentang Paten masih banyak terdapat kelemahan, khususnya dalam menyikapi perlindungan paten dalam bidang farmasi dan industri kesehatan. Oleh karena itu UU Paten No,13 Tahun 2016 harus diamandemen.

Baca juga: Indonesia peringkat 65 dalam International Property Rights Index 2019

Konvensi Internasional tidak dapat dipaksakan berlakunya, jika bertentangan dengan hukum nasional, seperti yang disampaikan oleh Amrih Jinangkung, Direktur Hukum dan Perjanjian Perdagangan Internasional Kemenlu RI.

Amrih juga membandingkan dengan India bahwa, Indonesia jauh tertinggal dalam bidang industri obat-obatan global.

Pada tahun 2020 India menempati 10 besar negara di dunia dalam industri ini. Industri bioteknologi sangat menjanjikan.

Di Amerika industri ini telah menciptakan 850.000 lapangan kerja dari total 4,4 juta sektor biofarma.

Dengan memaparkan berbagai perundingan Internasional, Amrih menyimpulkan bahwa baik FTA/CEPA tidak menganulir TRIPs Agreement Flexibilities.

Public health (kesehatan publik) diakui sebagai exception (pengecualian) dalam WTO, FTA/CEPA dan berlaku secara menyeluruh walaupun dalam format yang berbeda-beda.

Secara umum pendekatan negosiasi Indonesia masih defensif untuk isu terkait HKI. Terutama terkait isu tentang Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten, yang mewajibkan paten yang terdaftar di Indonesia wajib dilaksanakan di Indonesia dan juga mengenai serapan tenaga kerja dalam negeri dan alih teknologi (Webinar, APHKI, Kemenlu RI, Kedubes RI Untuk Kanada, 12 Juni 2020).

Kehidupan Bersama

Industri Farmasi dan Industri dalam bidang kesehatan haruslah diarahkan pada kepentingan keberlangsungan kehidupan bersama umat manusia.

Dengan meminjam pandangan Filosof Cicero, Hayyan Ul Haq Dosen Universitas Mataram-Lombok mengatakan bahwa hak-hak fundamental yang dimiliki oleh manusia haruslah dihubungkan dengan kesejahteraan dan keberlangsungan kehidupan bersama umat manusia.

Salus populi suprime lex esto (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi), kata Cicero. Jangan memuat klausul yang menjauhkan masyarakat dari hak-hak fundamentalnya, antara lain menjamin keberlangsungan kehidupan bersama, versi UUD 1945 Pasal 28, setiap warga berhak untuk mendapatkan kehidupan/kesehatan yang layak.

Hak eksklusif dan hak monopoli dalam bidang obat-obatan yang kerap kali dilindungi dalam rezim hukum paten haruslah ditafsirkan kembali.

Re-eksaminasi rezim paten guna menjamin ketersediaan obat esensial dalam menyelamatkan kehidupan bersama.

Baca juga: China klaim pimpin permohonan paten di dunia
​​​​​​​

Oleh karena itu menurutnya, perlu diciptakan model yang tepat (appropriate) dalam pemanfaatan produk intelektual, menciptakan kontrak dagang (tailor-made contract) dan menawarkan Patent Pool untuk menjamin ketersediaan obat esensial, untuk keberlanjutan kehidupan bersama (Webinar, APHKI, Kemenlu RI, Kedubes RI Untuk Kanada, 12 Juni 2020).

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa, tidak ada salahnya kita menerapkan undang-undang nasional kita, yang menjadi masalahnya adalah undang-undang kita yang kurang lengkap, undang-undang kita sendiri yang tidak mempersiapkan norma-norma yang melindungi kepentingan nasionalnya sendiri.

Pembuat UU Paten, gagal memanfaatkan peluang yang disediakan oleh TRIPs Agreement dan Marakesh Convention. Belum ada pasal-pasal penjaga kepentingan nasional, khususnya paten dalam bidang farmasi dan kesehatan untuk mengawal keberlangsungan kehidupan bersama umat manusia.

*) OK Saidin adalah Ketua Assosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia
 

Copyright © ANTARA 2020