Jakarta (ANTARA News) - Selain Noordin M Top, gembong teroris yang paling dicari oleh aparat kepolisian adalah Saefudin Jaelani. Pedagang obat-obat herbal dan ahli pengobatan bekam ini ternyata orang yang bertugas merekrut calon pelaku bom bunuh diri.

Danni Dwi Permana, 18 tahun, bomber Hotel JW Marriott, adalah hasil rekrutan Jaelani. Polisi menduga keras ustadz asal Cirebon, Jawa Barat, itu juga merekrut 14 pemuda lain untuk dijadikan "pengantin". Pengantin adalah istilah yang digunakan oleh kelompok teroris bagi calon pengebom bunuh diri.

Mengapa pengebom bunuh diri disebut pengantin?

David Brooks menulis mengenai "The Culture of Martyrdom" (Majalah Atlantic edisi Juni 2002) dan mencoba mengkaitkan dengan sejarah pengebom bunuh diri di kalangan pejuang Palestina yang menentang pendudukan Israel.

Brooks mengutip laporan wartawan Pakistan Nasra Hassan yang mewawancarai 250 orang yang merekrut dan melatih para calon pelaku bom bunuh diri di Palestina selama kurun waktu dari tahun 1996 sampai 1999.

Kesimpulannya, pengebom bunuh diri umumnya sangat loyal kepada kelompoknya. Mereka melalui proses indoktrinasi dan cuci otak persis seperti yang dilakukan oleh Jim Jones pemimpin Sekte Matahari kepada para jemaahnya menjelang bunuh diri masal tahun 1977.

Calon pengebom dikelompokkan ke dalam sel-sel kecil dan diberikan ceramah agama serta melakukan ritual ibadah yang intensif. Mereka diajak untuk melakukan jihad (meski pemahaman akan jihadnya menyesatkan), dibakar kebenciannya terhadap musuh (biasanya simbol-simbol Barat dan pendukung Israel) dan diyakinkan akan masuk surga sebagai balasan tindakannya.

"Pengebom bunuh diri dicekoki bahwa surga terbentang dibalik detonator pemantik bom dan ajal kematian akan dirasakan tidak lebih dari sekedar cubitan (yang sama sekali tidak menyakitkan)," tulis Brooks.

Bahkan perekrut kadang meminta calon pengebom bunuh diri untuk terlentang di lubang kubur kosong, sehingga mereka bisa merasakan bagaimana tentramnya kematian yang akan tiba. Sebaliknya kepada mereka diingatkan secara terus menerus bahwa hidup di dunia itu fana, sementara, banyak penderitaan, cobaan dan penghianatan.

Yang abadi adalah di surga dimana ada 72 bidadari yang menunggu dengan penuh cinta.

Mungkin karena akan bertemu dan menikah dengan bidadari di surga itu, maka si calon pengebom bunuh diri disebut sebagai pengantin. Lalu saat bom meledak dan nyawa si pelaku melayang disebut sebagai "perkawinan", yakni pertemuan antara jiwa si pelaku dengan sang bidadari.


Tulis surat wasiat


Jika calon pengebom bunuh diri itu telah tamat dicuci otaknya dan siap menjalankan misinya, mereka diminta menulis surat wasiat dan menyampaikan pesan-pesan terakhirnya dalam rekaman video.

Salah satu pesan dari seorang pelaku bom bunuh diri yang dikutip dari laporan Nasra Hassan adalah "Aku akan membalas dendam atas anak-anak monyet dan babi, yaitu orang kafir, Yahudi, dan musuh-musuh manusia. Aku akan segera bertemu dengan saudaraku para syuhada yang lebih dulu masuk surga".

Ketika calon pengebom bunuh diri sudah membuat wasiat dan merekam pesan terakhirnya di rekaman video, maka tidak ada kata untuk mundur lagi. Membatalkan misi bunuh diri sangat memalukan. Ia tinggal mensucikan diri, berdoa dan membawa bom untuk diledakkan di tempat yang diperintahkan kepadanya: bisa di pasar, diskotik, bus, atau markas tentara.

Achyar Hanif, seorang ustadz dan alumnus dari New York University, Amerika Serikat, yang mengamati perilaku pengebom bunuh diri menyatakan anak-anak muda yang direkrut menjadi pengantin umumnya tidak tahu apa-apa. Anak-anak remaja itu dicekoki, diindoktrinasi, diprovokasi untuk membenci dengan dalih-dalih agama yang sesungguhnya menyesatkan.

Sebab, katanya, dalam ajaran Islam, bunuh diri itu dilarang, apalagi membunuh orang lain.(Quran 4: 29-30). Dalam Islam, mengambil nyawa orang itu hanya bisa dilakukan dalam kaitan dengan penegakan hukum, seperti hukuman mati untuk pembunuh. Tapi, dalam Quran 17:33 ditegaskan bahwa memaafkan (si pembunuh) itu lebih baik.

Bahkan pada saat dalam keadaan perang pun, menyakiti orang-orang tak berdosa dilarang oleh nabi Muhammad SAW. Masuk dalam kategori "noncombatant", ini adalah wanita, anak-anak, dan orang-orang uzur dan tua. Selain itu, dalam perang sekalipun tidak diperbolehkan untuk menghancurkan tanaman dan bahan pangan.

"Hal itu karena Tuhan itu maha pengasih dan maha penyayang. Islam adalah perdamaian," kata Achyar Hanif.


Orang tanpa harapan

Mengenai semakin banyaknya anak-anak muda yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Indonesia, Achyar menekankan pentingnya semua pihak mengatasi persoalan kemiskinan, pengangguran, dan persoalan sosial.

"Para teroris mengincar remaja yang putus sekolah, pemuda yang tidak punya pekerjaan, orang-orang yang punya pendapatan tapi sangat rendah. Orang-orang tanpa harapan inilah yang direkrut, dibina, dicuci otaknya untuk menjadi teroris," tegasnya.

Hasil penelitian Dr Yusef Yadgari menyebutkan bahwa sebagian pengebom bunuh diri dilandasi oleh keputusasaan dan mereka umumnya datang dari kelompok masyarakat yang miskin dan marjinal.

Di Afghanistan, menurut Yadgari, statistik menyebutkan bahwa 80 persen pelaku serangan bunuh diri memiliki cacat fisik dan persoalan mental.

Sebanyak 110 kasus serangan bunuh diri di Afghanistan pada tahun 2007 dilakukan oleh pelaku yang memiliki masalah kesehatan seperti kanker, lepra, atau penyakit akut lainnya.

Sebagian lagi tercatat memiliki persoalan kejiwaan seperti anti-sosial, trauma, penyimpangan perilaku, paranoid, kebencian yang berlebihan, kemarahan yang tak terkendali dan narsistis.

Profil penyerang bunuh diri di Timur Tengah menurut studi terakhir adalah 83 persen belum menikah, 64 persen berusia antara 18-23, dan 29 persen setidaknya lulus SMA.

Jika dilihat siapa yang melakukan pengeboman bunuh diri di Indonesia, angka statistik di Timur Tengah tersebut tidaklah jauh berbeda. Danni Dwi Permana, pelaku bom bunuh diri di hotel JW Marriott berumur 18 tahun. Ia baru saja lulus SMA Yadika 7 Bogor. Pekerjaannya adalah marbot atau penjaga masjid. Sementara Zulkifli Aroni, ayah Danni, sedang menjalankan pidananya di penjara. Tini Larantika, ibunya, bekerja di Kalimantan sehingga Danni harus hidup dan menghidupinya sendirian.

Sebagaimana pengakuan Tini, puteranya itu telah menjadi korban teroris yang merekrutnya dengan penerapan konsep jihad yang salah. Memang kepada Tini, Danni pernah mengatakan ingin berjihad. Namun, jihad yang ia katakan adalah berdakwah dari mesjid ke mesjid. Tini sangat terpukul jihad anaknya itu berubah menjadi jihad yang menyakiti orang.

Tini tetap yakin bahwa Danni itu bukan teroris, melainkan hanya korban. Berjihad itu, katanya, bukan dengan menjadi teroris. Tapi apa lacur, kelompok teroris telah merekrutnya dan telah mencuci otaknya. Dengan kenaifannya, Danni pun bersedia menjadi pengantin.

Oh, Danni yang malang.(*)

Oleh Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009