Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Soleh meminta masyarakat untuk menjaga kesehatan diri dan tidak melakukan aktivitas yang menjerumuskan pada kebinasaan atau yang dapat mengganggu kesehatan pada saat pandemi virus corona jenis baru atau COVID-19.

"Allah SWT menciptakan segala sesuatu untuk kepentingan kemaslahatan manusia. Manusia diberikan akal, tapi di saat yang sama juga diberikan pilihan," ujar Asrorun dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis.

Contohnya jika sakit maka dianjurkan dengan akal sehat untuk berobat. Meskipun benar, sakit merupakan ciptaan Allah SWT. Namun dengan akal budi maka dilakukan ikhtiar atau usaha melakukan aktivitas yang baik untuk kesehatan.

Baca juga: MUI: ibadah jalan terus tapi wajib jaga keselamatan diri

"Kalau sehat, maka diwajibkan menjaga kesehatan. Jangan melakukan kegiatan yang menjerumuskan diri pada kebinasaan," imbuh dia.

Hal tersebut diungkapkan Asrorun menyusul adanya anggapan yang beredar di masyarakat, bahwa tidak mengapa salat di masjid meskipun di wilayah itu merebak virus COVID-19.

Asrorun juga menambahkan MUI telah mengeluarkan fatwa 14/2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah COVID-19. Terdapat sembilan poin dalam fatwa tersebut. Fatwa tersebut mengatur bagaimana umat Islam menjalankan ibadah pada saat musibah pandemi  COVID-19.


Poin pertama, setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang diyakini dapat menyebabkannya terpapar penyakit, karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams).

Baca juga: Wamenag: Tablig di Gowa batal

Poin kedua, orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zuhur di tempat kediaman, karena shalat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal. Baginya haram melakukan aktivitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu/ rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.


Poin ketiga, yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar COVID-19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut, yakni dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya.

Baca juga: Soal Ijtima di Gowa terancam corona, MUI ajak penundaan

Selanjutnya dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus corona, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.


Keempat, dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19, seperti jamaah shalat lima waktu/ rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.

Baca juga: Gowa siap fasilitasi pemulangan 8.694 peserta Ijtima Asia

Kelima, dalam kondisi penyebaran COVID-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat.


Keenam, pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam upaya penanggulangan COVID-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib mentaatinya.


Ketujuh, pengurusan jenazah (tajhiz janazah) terpapar COVID-19, terutama dalam memandikan dan mengkafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar COVID-19.


Kedelapan, umat Islam agar semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak ibadah, taubat, istighfar, dzikir, membaca Qunut Nazilah di setiap shalat fardhu, memperbanyak shalawat, memperbanyak sedekah, dan senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari musibah dan marabahaya (doa daf’u al-bala’), khususnya dari wabah COVID-19.


Kesembilan, tindakan yang menimbulkan kepanikan dan/atau menyebabkan kerugian publik, seperti memborong dan menimbun bahan kebutuhan pokok dan menimbun masker hukumnya haram.
***3***

Baca juga: Pemerintah disarankan optimalkan sumber daya pesawat respon COVID-19
Baca juga: Dua WNA Jepang diisolasi di RSUD Haulussy Ambon
Baca juga: Wartawan Kediri komitmen kontrol informasi tentang virus corona

 

Pewarta: Indriani
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020