Purwokerto (ANTARA News) - Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak turun tangan dalam kasus dugaan salah tangkap terhadap Dodi Setiawan (16), tersangka perkosaan dan pembunuhan Santi Maulina (16), siswi SMP Negeri 4 Satu Atap Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas.

"Kami telah mendapat laporan adanya dugaan salah tangkap terhadap Dodi sebagai pelaku tunggal pembunuhan," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komnas Perlindungan Anak, Aris Merdeka Sirait usai mendengarkan keterangan dari kedua orangtua Dodi, Kusnanto (47) dan Karsini (37), serta beberapa saksi yang didampingi pengacara Djoko Susanto, di Purwokerto, Rabu malam.

Setelah mendengarkan keterangan keluarga Dodi, kata Aris, diketahui terdapat beberapa hal yang mengganjal dalam kasus tersebut.

Menurut dia, polisi (Polres Banyumas, red.) telah menjerat Dodi dengan pasal 340 KUHP dengan ancaman penjara 20 tahun atau hukuman mati.

Padahal dalam undang-undang pengadilan anak, kata dia, tidak mengenal adanya hukuman 20 tahun penjara atau mati.

"Kita jelas menolak karena pasal 340 KUHP tidak dapat diterapkan pada anak berusia di bawah 18 tahun," katanya.

Selain itu, kata dia, dari keterangan orangtua Dodi diketahui adanya kekerasan terhadap tersangka sehingga anak tersebut mengeluarkan darah.

Menurut dia, hal itu jelas menunjukkan adanya pelanggaran terhadap hak-hak Dodi yang harus dilindungi dari kekerasan, apalagi saat penangkapan tidak ada surat perintahnya.

"Surat penangkapan harus langsung diberikan saat itu. Walau hanya untuk dimintai keterangan, tetap harus ada surat perintah," kata dia menegaskan.

Untuk itu, kata Aris, besol pagi (Kamis, red.) pihaknya berencana akan menemui Dodi Setiawan yang berada di ruang tahanan Mapolres Banyumas.

Menurut dia, Komnas Perlindungan Anak juga akan menemui Kapolres Banyumas AKBP RZ Panca Putra untuk mengklarifikasi kasus Dodi sejak penangkapan, pemeriksaan, hingga kondisi anak itu di dalam ruang tahanan.

Ia mengatakan, jika memang Dodi terbukti tidak bersalah, anak tersebut harus segera dibebaskan dan polisi harus merehabilitasi namanya, apalagi saat ini telah lewat batas masa tahanan.

"Namun jika ternyata terbukti bersalah, Komnas akan merekomendasikan hak-hak Dodi tetap terpenuhi antara lain tidak dijadikan satu dengan narapidana dewasa dan hakim tidak boleh mengenakan toga dalam persidangan," katanya.

Seperti yang diketahui, Dodi ditangkap polisi di rumahnya di rumahnya di Desa Baseh, Kedungbanteng, Rabu malam, sekitar pukul 22.00 WIB, dengan tuduhan melakukan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap Santi Maulina.

Jenazah Santi Maulina ditemukan dalam keadaan setengah telanjang di salah satu ruang bekas bangunan SD Negeri 2 Baseh, pada Rabu (14/1), sekitar pukul 10.00 WIB, oleh Kusto (53), penjaga bangunan yang terdiri dua ruangan tersebut.

Namun orangtua tersangka, Kusnanto (47) dan Karsini (37), bersama pengacara Joko Sutanto dan tujuh orang saksi memaparkan adanya dugaan salah tangkap terhadap Dodi Setiawan, di Purwokerto, Senin (26/1).

Menurut ayah tersangka, Kusnanto, anaknya bukan pembunuh Santi karena selama hari Selasa (sebelum jenazah Santi ditemukan, red.) Dodi berada di rumah dan malam harinya berada di lokasi kandang sapi milik Kelompok Tani Sida Makmur, Desa Kalisalak, Kecamatan Kedungbanteng hingga pukul 21.30 WIB.

Setelah itu, Dodi langsung pulang ke rumah untuk tidur dan dibangunkan oleh ibunya (Karsini) keesokan harinya, Rabu, pukul 05.00 WIB.

Menurut Kusnanto, ada tujuh pekerja di kandang sapi yang bersama Dodi sepanjang Selasa malam dan mereka siap bersaksi.

Orangtua Dodi melalui pengacara Djoko Susanto mendaftarkan sidang gugatan praperadilan kepada Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto, Jumat (30/1).

Sidang gugatan praperadilan tersebut berlangsung sejak Rabu (4/2) dan dilakukan secara maraton.

Di akhir persidangan pada Selasa (10/2), hakim PN Purwokerto Prayitno memutuskan tidak menerima sidang gugatan praperadilan dengan alasan belum sempurna.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009