Kalau pemajangan saja tidak boleh terus bagaimana, itu kan bagian dari investasi walaupun kecil.
Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menilai bahwa salah satu aturan dalam Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Kota Bogor No 10 Tahun 2018 bertentangan dengan amanat Presiden RI, Joko Widodo, yang mendorong iklim kemudahan berusaha.

Aturan Perda KTR Bogor yang dimaksud yakni melarang adanya pemajangan produk rokok di toko-toko di Bogor. APTI juga menilai positif gugatan uji materil (judicial review) oleh pedagang tradisional ke Mahkamah Agung (MA) terhadap Perda KTR tersebut. 

“Kalau pemajangan saja tidak boleh terus bagaimana, itu kan bagian dari investasi walaupun kecil. Bertentangan dengan Presiden. Jadi, Presiden juga memberi ruang untuk investasi masuk di situ,” kata Ketua APTI Soeseno di Jakarta, Rabu.
Baca juga: APTI minta pembatasan impor tembakau segera diberlakukan

Sebelumnya Presiden Jokowi telah mengamanatkan agar kepala daerah membantu memberi kemudahan investor yang berkomitmen menanamkan modalnya untuk pembangunan daerah, menciptakan peluang tenaga kerja bagi masyarakat di daerah sehingga dapat meningkatkan pergerakan ekonomi.

Seperti diketahui, aturan Perda KTR Bogor dinilai sejumlah pihak tidak memberikan kepastian hukum dan kemudahan dalam berinvestasi, terutama poin pelarangan pemajangan produk rokok. Poin ini yang kemudian menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, terutama kalangan pelaku industri.

Larangan tersebut memberikan dampak secara ekonomi dan sosial terutama di kalangan pedagang tradisional. "Nanti justru menurunkan pendapatan pedagang. Rokok ini kan barang legal, bayangkan ketika berjualan tidak ada display-nya," jelas Soeseno.
Baca juga: APTI: Kenaikan cukai rokok harus dibarengi pembatasan impor tembakau

Soeseno menambahkan, APTI mendukung langkah para pedagang tradisional untuk mengajukan uji materi aturan tersebut. Bagaimana pun, rokok merupakan komoditas dagang yang memberi keuntungan bagi pedagang. Jangan sampai, perda tersebut membawa kerugian bagi pelaku ekonomi, khususnya pedagang rokok di Kota Bogor.

Sementara itu, Direktur Produk Hukum Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sukoyo menyatakan, Mahkamah Agung bisa membatalkan Perda KTR lewat jalur tersebut.

“Selanjutnya kewenangan pencabutan Perda berada pada DPRD dan Pemda baik atas inisiatif sendiri untuk mencabut atau karena adanya putusan MA yang membatalkan Perda terkait,” kata Sukoyo saat dihubungi wartawan di Jakarta.
Baca juga: APTI nilai Revisi PP 109/2012 turunkan penyerapan tembakau petani

Sukoyo menjelaskan, setiap orang atau kelompok memiliki hak untuk melakukan gugatan terhadap Perda yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Hak ini telah dijamin oleh konstitusi. “Demikian halnya dengan pedagang tradisional, mereka mempunyai hak untuk melakukan uji materi terhadap perda KTR tersebut,” jelas Sukoyo.

Perda KTR merupakan produk hukum yang sifatnya mengatur dan bukan melarang. Saat ini terdapat sekitar 512 kota/kabupaten dan provinsi yang telah melaksanakan Perda KTR tersebut. Kota Bogor merupakan inisiator dan salah satu wilayah yang mencantumkan aturan pelarangan pemajangan produk rokok di toko ritel.

Menurut Sukoyo, pembinaan dilakukan pada saat perda KTR masih dalam bentuk rancangan perda. Selain itu juga dilakukan dalam bentuk fasilitasi dan verifikasi guna memastikan bahwa materi muatan perda tersebut sesuai dengan standar yang ada.

“Khusus perda KTR Kota Bogor yang saat ini sudah masuk dalam ranah pengadilan, maka alangkah baiknya kita tunggu dulu putusannya,” tegas Sukoyo.

Baca juga: Kenaikan cukai rokok tinggi akan berimbas pada petani tembakau

Pewarta: Ahmad Wijaya
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2020