banting harga kamar hotel dengan menawarkan paling murah itu telah merusak citra pariwisata dan bisnis menjadi tidak sehat
Denpasar (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Bali akan segera mengatur batas bawah harga kamar hotel berbintang maupun hotel melati di daerah itu untuk menghindari praktik banting harga yang kerap terjadi saat kunjungan wisatawan ke Pulau Dewata minim atau "low season".

"Persoalan banting harga kamar hotel dengan menawarkan paling murah itu telah merusak citra pariwisata dan bisnis menjadi tidak sehat," kata Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali I Putu Astawa saat menggelar diskusi kelompok terfokus (FGD) mengenai Rancangan Peraturan Gubernur Bali tentang Penyelenggaraan Tata Kelola Pariwisata Bali, di Denpasar, Selasa.

Astawa tidak memungkiri fenomena banting harga kamar hotel kerap terjadi di saat "low season" karena memang selama ini tidak berimbang antara jumlah wisatawan yang berwisata ke Bali dengan jumlah kamar hotel yang tersedia.

"Hal ini (banting harga kamar) kami tidak mau terjadi lagi," ucap Astawa.

Baca juga: Hotel-restoran di Bali tawarkan diskon besar-besaran mulai Oktober

Rincian batas bawah harga kamar hotel direncanakan tercantum dalam rancangan Pergub tentang Penyelenggaraan Tata Kelola Pariwisata Bali itu, namun setelah mendengar masukan dari sejumlah perwakilan asosiasi pariwisata yang hadir dalam FGD, disepakati harganya tidak rigid dicantumkan dalam Pergub.

Mengenai besaran batas bawah harga kamar hotel, dalam FGD tersebut banyak yang mengusulkan agar diatur dalam bentuk kesepakatan antara pemerintah dan asosiasi pariwisata, sehingga setiap tahun dapat ditinjau kembali, sama seperti halnya dengan upah minimum kabupaten/kota.

"Terkait berapa batas yang terendah dan berapa ukuran yang terbaik, tentu kami akan mendengar masukan dari berbagai asosiasi pariwisata. Penetapannya kembali setiap tahun dengan melibatkan kalangan industri pariwisata," ucap Astawa pada acara yang diikuti berbagai komponen asosiasi pariwisata, akademisi, kelompok ahli pembangunan Pemprov Bali, dan sejumlah organisasi perangkat daerah terkait di lingkungan Pemprov Bali.

Baca juga: BPS: TPK hotel berbintang di Bali naik tipis

Sebelumnya dalam Ranpergub tentang Penyelenggaraan Tata Kelola Pariwisata Bali itu, khususnya pasal 23 diatur penetapan harga jual kamar hotel yakni untuk hotel bintang 5 minimum Rp4 juta, hotel bintang 4 minimum Rp3 juta, hotel bintang 3 minimum Rp2 juta, hotel bintang 2 minimum Rp1 juta, dan hotel bintang 1 itu minimum Rp750 ribu, untuk hotel melati minimum Rp500 ribu.

Sedangkan vila dengan kategori diamond minimum Rp3 juta dan vila kategori gold itu minimum Rp2,5 juta.

Wakil Ketua Umum DPP IHGMA, yang juga Wakil Ketua I IHGMA Bali I Made Ramia Adnyana mengatakan pihaknya setuju dengan pengaturan batas bawah harga kamar hotel.

"Namun, harus di-review setiap tahun karena harga akan berubah-ubah. Itu perlu rapat lagi dengan asosiasi terkait dengan penentuan harga setiap tahunnya," ucap pria yang menaungi organisasi para manajer hotel itu.

Pentingnya pengkajian harga setiap tahun, lanjut Ramia, juga berkaitan dengan kontrak bisnis dengan para mitra kerja sama yang juga berlaku setiap tahun.

Baca juga: Gubernur Bali wajibkan hotel utamakan serap produk lokal

Di sisi lain, Ramia juga menyoroti agar dalam pergub diatur terkait tiket masuk ke destinasi wisata hanya dikenakan sekali kepada wisatawan dan itu bisa berlaku untuk semua aktivitas. "Seringkali wisatawan mengeluhkan ketika berwisata ke pura misalnya, mereka harus membayar tiket masuk, setelah itu kembali dikenakan biaya sewa selendang, hingga membayar jasa toilet," ujarnya.

Ketua PHRI Kabupaten Badung I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya berpandangan bahwa Bali akan terkenal menjadi wisata murah jika hotel kelas bintang 5 misalnya menggunakan harga bintang 4, hotel bintang 4 tetapi menggunakan harga bintang 3 dan seterusnya.

"Kita juga bisa bandingkan di Yogyakarta harga hotelnya banyak yang lebih mahal dibandingkan Bali, padahal hotel di Bali lebih bagus," ucapnya.

Baca juga: Bali tetap jadi favorit wisata internasional

Oleh karena itu, lanjut Suryawijaya, dengan adanya pergub tersebut dapat menjadi semacam acuan dan kesepakatan kalangan industri yang regulasinya dibantu disiapkan oleh Pemerintah Provinsi Bali.

"Pergub ini untuk Bali dalam rangka one island, one management, dan one voice. Memang belum final, masih banyak yang perlu diatur di dalamnya," katanya.

Rai Suryawijaya juga mengajak kalangan industri pariwisata untuk berani berkomitmen menuju pariwisata Bali yang lebih berkualitas. "Jangan sampai investasi yang besar untuk membangun hotel hingga miliaran rupiah, tetapi kita jual hanya Rp1 juta gara-gara okupansi turun," ucapnya.

Baca juga: BI prediksi permintaan hotel di Bali meningkat pada 2019

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020