saat dijemput dia sudah sesak napas
Wasior, Teluk Wondama (ANTARA) - Kasus hidrosefalus kembali ditemukan di daerah pedalaman Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat yang menimpa Maeta Urosa, bayi berusia 10 bulan asal Kampung Oya, Distrik Naikere.

Kasus ini lagi-lagi terjadi pada bayi, seperti sebelumnya diderita bayi Dos Santos Runaki, Maeta Urosa juga mengalami gejala berupa pembengkakan pada kepala.

Direktur RSUD Teluk Wondama dr.Ristom Mora ditemui di kantornya, Rabu, mengungkapkan, Maeta sebelumnya pernah dirawat di RSUD Manggurai pada September lalu.

Maeta yang selama ini dirawat orang tuanya di pedalaman Naikere telah dievakuasi ke RSUD Teluk Wondama di Manggurai oleh tim dari Dinas Kesehatan dan RSUD pada Senin (14/10).

Evakuasi tersebut dilakukan secara paksa lantaran keluarga bayi perempuan itu sebelumnya pernah menolak anak mereka dirawat di rumah sakit. Padahal kondisi Maeta kesehatan sudah mengalami penurunan dan membutuhkan perawatan medis secepatnya.

Maeta menjadi pasien kedua yang diketahui menderita hidrosefalus dalam sebulan terakhir. Sebelumnya kasus serupa dialami Dos Santos Runaki, bayi berusia 1 tahun 8 bulan juga mengalami kondisi serupa.

Santos saat ini sudah berada di Jakarta untuk mendapat perawatan medis lanjutan.

Maeta, puteri pertama dari pasangan Romi Urosa dan Werdermina Urosa didiagnosa mengidap sejumlah penyakit seperti malaria tersiana, gizi buruk dan hidrosefalus yang ditandai dengan terjadinya pembengkakan di kepala.

Saat dirawat di RSUD Manggurai, dokter menyarankan agar Maeta dirawat lebih lama, namun orang tua si bayi menolak dan memaksa untuk pulang.

“Keluarga ngotot minta pulang tanggal 15 September lalu. Selanjutnya, beberapa waktu lalu kami kami sampaikan kepada bapak bupati dan wakil bupati agar dilakukan langkah-langkah secepatnya untuk evakuasi pasien,“ kata Ristom.

Tim yang dipimpin Kepala Dinas Kesehatan, Habel Pandelaki kemudian bergerak menuju Naikere tepatnya di KM 52 untuk menjemput Maeta.

Lokasi di KM 52 merupakan tempat perburuan warga Kampung Oya. Warga setempat masih menjalankan pola hidup sebagai peramu yakni berburu binatang hutan serta mencari kulit pohon gaharu untuk dijual.

“Dari Km 52 itu kita berjalan kaki ke dalam sekitar satu jam. Tim masuk ambil pasien dan saat dijemput dia sudah sesak napas,“ ujar Yoce Kurniawan, dokter ahli saraf yang ikut serta dalam penjemputan tersebut.

Saat ini Maeta sedang menjalani perawatan medis di RSUD Manggurai karena selain hidrosefalus, bayi malang itupun mengalami infeksi yang membuat kondisinya sempat drop. Rencananya Maeta akan dirujuk ke Jayapura untuk mendapat perawatan medis yang lebih lengkap.

“Kita berharap dia stabil, kalau sudah stabil kita akan segera rujuk lagi. Kita jaga dulu baik-baik karena dia banyak infeksinya karena tinggal di pedalaman," ucap Ristom.

Sang Ayah, Romi Urosa menuturkan, saat lahir kondisi Maeta normal dan tidak tampak tanda-tanda adanya kelainan. Namun memasuki bulan ketiga Maeta mengalami sakit. Badannya panas tinggi hingga kejang-kejang.

“Sekitar 4 bulan sudah mulai besar (kepalanya). Bulan lalu kami bawa dia ke RSUD,“ kata Romi yang mengaku sehari-hari bekerja memburu di hutan untuk dibuat dendeng daging.

Sebagai orang kecil yang tinggal di pedalaman terpencil, Romi hanya bisa pasrah. Dia bersama sang isteri berharap anak mereka bisa sembuh.

Wakil Bupati Teluk Wondama Paulus Indubri menyatakan Pemkab Wondama akan menanggung semua biaya perawatan bayi Maeta termasuk saat dia dirujuk ke Jayapura nanti.

 

Pewarta: Toyiban
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019