Jakarta (ANTARA) - Managing Director PT Rohde and Schwarz Indonesia Erwin Sya'af Arief divonis 2,5 tahun penjara ditambah Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menyuap mantan anggota Komsi I DPR dari fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi terkait penambahan alokasi anggaran di Badan Keamanan Laut (Bakamla).

"Mengadili, menyatakan terdakwa Erwin Syaaf Arief telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap terdakwa Erwin Syaaf Arief dengan pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan penjara dan pidana denda sebesar Rp 100 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan," kata ketua majelis hakim Frankie Tambuwun di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Baca juga: Suap Bakamla, Erwin Arief dituntut 3,5 tahun penjara

Vonis tersebut lebih rendah dibanding dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang meminta agar Erwin Sya'af Arief dituntut 3,5 tahun penjara ditambah Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.

Erwin terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan pertama dari pasal 5 ayat 1 huruf a jo pasal 15 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Hal meringankan, berlaku sopan di persidangan, belum pernah dihukum, memiliki tanggungan keluarga, menyesali perbuatannya. Hal yang memberatkan, tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi," tambah hakim Frankie.

Tujuan pemberian suap itu adalah agar Fayakhun mengupayakan penambahan anggaran Bakamla untuk pengadaan proyek satelit monitoring dan drone dalam APBN-P 2016.

Erwin sejak 2003 adalah "managing direktur" PT Rohde & Schwarz Indonesia yang merupakan perusahaan perwakilan Rohde & Schwarz Jerman.

Perusahaan itu menjual produk-produk di bidang "test and measurement", "secure communication", "broadcasting", "radio monitoring" dan "location finding" selaku pabrikan (principal) di Indonesia.

Erwin yang juga merupakan teman Fayakhun menawarkan dukungan kepada Fayakhun untuk mendapatkan karir politik yang lebih baik di Partai Golkar dengan menjanjikan akan menunjang karir politiknya termasuk biaya politik yang diperlukan. Komisi I DPR juga adalah mitra kerja Bakamla.

Baca juga: KPK panggil empat saksi kasus pengadaan di Bakamla

Selanjutnya pada Maret 2016, staf khusus perencanaan anggaran Bakamla Ali Fahmi Habsy menemui Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah dan staf operasional Merial Esa M Adami Okta. Habsyi menawarkan Fahmi mendapat proyek di Bakamla untuk APBN-P 2016 dengan syarat menyediakan "commitment fee". PT Merial Esa merupakan agen dari pabrikan PT Rohde & Schwarz Indonesia yang memiliki alat antara lain satelit komunikasi, sehingga Habsy menjanjikan akan mengontak Bakamla terkait rencana usulan anggaran tersebut.

Erwin yang sudah mengenal Fahmi Darmawansyah dihubungi Adami Okta dan ketiganya lalu bertemu di kantor PT Merial Esa. Fahmi dan Adami menyampaikan akan dianggarkan proyek pengadaan satelit monitoring dan drone di Bakamla melalui APBN-P tahun 2016, yang kemudian dijawab terdakwa bahwa PT Rohde dan Schwarz Indonesia memiliki peralatan tersebut dan sepakat untuk "menyupplynya".

Selanjutnya pada April 2016, Erwin menyampaikan ke Fayakhun agar mengupayakan proyek satelit monitoring di Bakamla dapat dianggarkan dalam APBN-P 2016 karena proyek itu akan mempergunakan barang atau produk dari PT Rohde and Schwarz Indonesia.

Erwin juga menyampaikan bahwa proyek itu nanti akan dikerjakan oleh perusahaan milik Fahmi Darmawansyah dan dijanjikan adanya 'comittment fee' untuk pengurusan anggaran tersebut.

Pada April 2016, dalam kunjungan kerja Komisi I ke kantor Bakamla, Ali Fahmi menyampaikan kepada Fayakhun akan disiapkan 'commitment fee' sebesar 6 persen dari pagu anggaran. Fayakhun kemudian melaporkan Setya Novanto yang ternyata telah mengetahui bahwa proyek yang akan dianggarkan di Bakamla itu nanti akan dikerjakan perusahaan milik Fahmi Darmawansyah.

Pada 29 April 2016, Erwin meneruskan informasi dari Fayakhun bahwa Komisi I DPR akan mengajukan tambahan anggaran dari Bakamla sebesar Rp3 miliar dan Fayakhun akan mengawal usulan tersebut. Namun Fayakhun minta tahmbahan 'commitment fee" sebesar 1 persen untuk dirinya sendiri dari nilai fee yang sebelumnya dijanjikan sehingga total "fee" adalah 7 persen.

"Fee" tersebut dipecah menjadi 200 ribu dolar AS yang dikirim ke rekening Hangzhou Hangzhong Plastic co.Ltd., dan 100 ribu dolar AS yang dikirim ke Guangzhou Ruiqi Oxford Cloth Co.Ltd. Keduanya adalah perusahaan China dan menggunakan rekening bank China.

Selanjutnya pada 4 Mei 2016, Fahmi Darmawansyah mengirimkan uang 300 ribu dolar AS ke dua rekening bank China tersebut melalui Citibank Singapore Ltd atas nama Fahmi Darmawansyah/Sriyati Mutiah.

Setelah dilakukan transfer, Erwin meneruskan inforamsi dari Fayakhun kepada Fahmi Darmawansyah melalui Adami Okta yaitu penambahan anggaran proyek satellite monitoring dan drone di Bakamla sebesar Rp1,22 miliar sehingga "commitment fee" 1 persen menjadi 927.756 dolar AS dengan kurs Rp13.150/dolar AS sehingga kekurangan yang harus ditransfer adalah 627.756 dolar AS.

Sisa "fee" dikirim pada 23 Mei 2016 yaitu sebesar 110.000 dolar AS yang dikirim ke rekening Omega Capital Aviation Limited menggunakan UBS AG Singapore dan 501.480 dolar AS menggunakan rekening atas nama Abu Djaja Bunjamin di OCBC Bank Singapore dengan keterangan "downpayment logistics and parts". Adami Okta lalu mengirimkan foto bukti transfer ke Erwin lalu disampaikan ke Fayakhun.

Setelah seluruh "fee" 911.480 dolar AS tersebut ditransfer maka Fayakhun memerintahkan stafnya Agus Gunawan untuk mengambil uang tersebut secara tunai melalui bantuan pemilik toko emas Serba Cantik Melawai, Lie Ketty, kemudian dipergunakan untuk kepentingan politik Fayakhun.

Baca juga: KPK panggil empat saksi kasus suap pengadaan di Bakamla

Setelah mendapat kepastian Fayakhun bahwa proyek tersebut dianggarkan dalam APBN-P 2016, Erwin mendapat keuntungan yaitu dilakukan pemesanan "satelit monitoring" produk Rohde & Schwarz pada 25 Juli 2016 oleh PT Merial Esa kepada PT Rohde & Schwarz Indonesia dengan nilai kontrak sebesar 11.250.000 euro padahal harga barang sebenarnya hanyalah 8.000.000 euro sehingga terdapat selisih yang dapat dinikmati untuk keutungan pribadi Erwin.

Terhadap barang tersebut selanjutnya dilakukan pembayaran uang muka PT Merial Esa pada 20 September 2016 sebesar 1.750.000 euro, padahal yang dibayarkan Erwin ke Rohde & Schwarz Asia Pasific hanyalah sebesar 1.600.000 euro sehingga terdapat selisih keuntungan yang dibagi untuk Erwin sebesar 35.000 dolar AS dan Muhammad Adami Okta sebesar 115.000 euro karena sebelumnya pernah meminta jatah komisi (diskon) kepada Erwin.

Atas putusan tersebut, Erwin dan JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.

Terkait perkara ini, sudah ada beberapa orang yang dijatuhi vonis yaitu Fayakhun Andriadi divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 4 bulan kurungan.

Selanjutnya mantan Deputi Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi dihukum 4 tahun 3 bulan penjara, mantan Direktur Data dan Informasi Bakamla Laksamana Pertama Bambang Udoyo divonis 4,5 tahun penjara dan dipecat dari kesatuan militer.

Masih ada mantan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Nofel Hasal divonis 4 tahun penjara, Fahmi Darmawansyah divonis 2 tahun dan 8 bulan penjara. Muhammad Adami Okta dan Hardy divonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta dengan subsider 6 bulan kurungan bahkan sudah bebas dari penjara.

Baca juga: KPK mendalami keterlibatan korporasi dalam dugaan korupsi di Bakamla

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019