Jakarta (ANTARA) - Negosiasi atau perundingan merupakan cara yang paling tepat bagi Indonesia untuk menetapkan batas wilayah laut dengan negara-negara tetangga, kata Direktur Kantor Internasional Universitas Pancasila Prof  Eddy Pratomo.

Pernyataan tersebut dia sampaikan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun tentang Delimitasi Batas Maritim 2019 yang berlangsung di Jakarta, Selasa.

Eddy Pratomo pernah diutus oleh Presiden Joko Widodo sebagai utusan khusus untuk Penetapan Batas Maritim antara Indonesia dan Malaysia.

Menurut Eddy, negosiasi adalah cara paling mudah dan murah untuk penetapan batas maritim negara dibandingkan dengan jalur arbitrasi, mediasi, atau konsiliasi. Selain itu, dia menilai bahwa melalui negosiasi atau perundingan, negara-negara pihak dapat lebih mudah menjaga kerahasiaan dokumen-dokumen.

"Kalau negosiasi kita sendiri yang melakukan dan semua rahasia seperti peta-peta dan dokumen hukum itu kita pegang sendiri. Sementara kalau arbitrasi, mediasi, atau konsiliasi terpaksa bahan-bahan itu yang menyangkut kedaulatan Indonesia terpaksa kita berikan kepada orang lain," jelasnya.

Dia pun menekankan bahwa perundingan merupakan bagian dari proses damai dalam upaya penetapan batas maritim sebagaimana diamanatkan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS).

Pada kesempatan itu, Eddy juga memaparkan tantangan yang dihadapi oleh para juru runding dan dapat memperpanjang waktu penyelesaian proses negosiasi batas laut dengan negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia. Tantangan tersebut bersifat objektif dan subjektif.

Menurut dia, tantangan dari segi objektif dapat berupa masalah-masalah teknis yang muncul dalam perundingan.

"Misalnya tentang kondisi area delimitasi. Kita punya batas darat di Pulau Sebatik, di Kabupaten Nunukan yang tergantung dari naik turunnya air laut. Titik daratnya sampai sekarang belum disepakati dan sampai sekarang kita masih merundingkan dengan negara tetangga," katanya.

Tantangan lain yang bersifat subjektif adalah proses penetapan garis tengah (median lines) dan solusi yang adil (equitable solutions) bagi negara-negara pihak perunding.

Selain itu, dia menyebutkan faktor internal suatu negara juga bisa menjadi tantangan dalam penyelesaian perundingan, misalnya perubahan tatanan atau kepemimpinan suatu negara yang berujung pada perubahan kebijakan perundingan.

Tantangan subjektif ketiga yang dapat menjadi hambatan adalah interpretasi aspek hukum laut dan teknis batas laut, yang menurut Eddy, dapat berbeda-beda bagi setiap negara.

"Contohnya, kita (Indonesia) mengenal dual line, sementara Malaysia tidak. Metode penarikan garis tidak sama," ujar dia.

Meski ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi dalam proses perundingan, Eddy meyakini bahwa negosiasi atau perundingan sebagai cara yang paling tepat bagi Indonesia untuk menetapkan batas maritim dengan 10 negara tetangga, diantaranya Australia, Filipina, Malaysia dan Singapura.

Baca juga: Eddy Pratomo paparkan tantangan negosiasi batas laut

Baca juga: Latar belakang tim negosiator batas laut RI dianggap harus bervariasi

Baca juga: Indonesia-Vietnam perlu "rules of engagement" untuk hindari konflik

Pewarta: Aria Cindraya, Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019