RKUHP saat ini cuma menambah pasal-pasal baru yang blunder dan malah menghidupkan kembali pasal-pasal lama yang bersifat kolonial dan sudah dicabut MK.”
Jakarta (ANTARA) - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendukung keputusan Presiden Joko Widodo untuk menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini sedang dibahas oleh DPR RI dan Pemerintah.

"Terima kasih Pak Jokowi, yang telah memerintahkan penundaan pengesahan RKUHP, karena pasal-pasal di dalam RKUHP masih banyak yang belum clear sehingga dapat bermasalah,” kata Juru Bicara PSI, Dini Purwono, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat.

Baca juga: Masinton setuju pengesahan RKUHP ditunda

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo, di Istana Bogor, Jumat siang, menyerukan agar DPR RI menunda persetujuan RKUHP menjadi Undang Undang. Presiden memerintahkan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk menyampaikan pertimbangan Pemerintah kepada DPR RI.

"Saya perintahkan Menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR ini. Agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahannya tak dilakukan DPR periode ini," ujar Presiden Jokowi.

Menurut Dini Purwono, keputusan Presiden Joko Widodo meminta penundaan pengesahan RKUHP ini, menunjukkan Pemerintah tidak berjalan sendirian, tapi tetap mendengar aspirasi rakyat.

“Aspirasi itu termasuk dari PSI, yang sejak awal menolak dan memberikan catatan kritis terkait pembahasan RUKHP kepada DPR RI," katanya.

Praktisi Hukum alumni Harvard Law School ini menilai, RKUHP yang sedang di bahas di DPR RI saat ini lebih buruk dari KUHP yang telah diterapkan, karena tidak ada satu pun pasal dari KUHP lama yang dihapus.

"RKUHP saat ini cuma menambah pasal-pasal baru yang blunder dan malah menghidupkan kembali pasal-pasal lama yang bersifat kolonial dan sudah dicabut MK,” kata Dini.

Baca juga: Fahri sarankan Presiden gelar rapat konsultasi terkait RKUHP

PSI juga mengapresiasi semua sikap elemen masyarakat yang telah bersama-sama menolak RUKHP, yang dinilai sebagai wujud ideal dalam demokrasi, bahwa ada mekanisme "check and balances" .

Dini menyebut permintaan Presiden Jokowi untuk menunda RKUHP ini karena mencermati masukan dari berbagai kalangan yang berkeberatan dengan sejumlah substansi RKUHP.

Dia menjelaskan, PSI sejak awal menolak RKUHP karena tiga alasan utama. Pertama, pengadopsian secara serampangan "living law" atau hukum yang hidup di masyarakat dengan memasukkan pasal-pasal terkait pidana adat.

“Penjelasan Pasal 2 ayat (1) RKUHP menjelaskan bahwa “hukum yang hidup di masyarakat” akan diatur dalam perda. Hal ini akan berdampak pada munculnya perda-perda diskriminatif dan intoleran di seluruh Indonesia,” kata Dini.

Kedua, RKUHP sangat berpotensi memicu efek negatif terhadap sektor usaha, terutama terkait Pasal 48 dan pasal 50. Pasal 48 berbunyi: “Tindak pidana korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat korporasi yang berada di luar struktur organisasi, tapi dapat mengendalikan korporasi.”

Sementara, Pasal 50 berbunyi: “Pertanggungjawaban atas tindak pidana oleh korporasi dikenakan terhadap korporasi, pengurus yang punya kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat korporasi.”

“Dua pasal itu tidak kondusif untuk dunia usaha karena menciptakan ketidakpastian hukum. Pengusaha atau pengurus korporasi akan takut melakukan tindakan apa pun karena bila 'business judgment' mereka salah maka rentan dipidana,” kata Dini.

Terakhir, menurut Dini, RKUHP terlalu banyak masuk ke dalam ranah privat warga negara. Hukum pidana seharusnya fokus kepada apa yang dimaksud dengan “kejahatan”, apa elemen-elemennya. Konsep kejahatan dalam hal ini harus obyektif dan universal, tidak bisa hanya berpatokan kepada adat kebiasaan atau agama tertentu.

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019