Faktanya, hanya individu pelaku pembakaran yang terjerat hukum
Kota Pekanbaru (ANTARA) - Wakil Ketua Umum KADIN Riau Viator Butarbutar mengatakan, Riau perlu memiliki program sistematik dalam upaya melakukan pencegahan yang baik agar kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di daerah itu tidak berulangkali terjadi.

"Sebab dengan pencegahan yang baik saja belum tentu Riau dan Indonesia bebas karhutla, apalagi tanpa program yang sistematik," kata Viator di Pekanbaru, Minggu.

Pendapat demikian disampaikannya terkait kabut asap di Riau yang masih saja terjadi  dan kini makin parah,  lebih akibat masih banyak ulah manusia yang membakar hutan dan lahan, juga termasuk oleh korporasi kehutanan.

Baca juga: PMI dirikan posko kesehatan untuk bantu korban kabut asap Riau

Menurut dia, kebakaran hutan dan lahan masih saja terjadi di Riau, karena masih ada sesuatu yang hilang dalam proses pengendalian karhutla, khususnya di Riau, pasca 2015 yaitu pencegahan, dan kurangnya penegakan hukum pasca penanggulangan.

Seyogyanya setelah berhasil dengan pemadaman karhutla 2015, katanya, Pemerintah Pusat dan Pemda Riau, mendorong kuat penegakan dan penindakan hukum atas pihak pihak yang bertanggung jawab atas karhutla.

"Faktanya, hanya individu pelaku pembakaran yang terjerat hukum. Pemilik lahan dan korporasi pemegang konsesi sangat minim diproses ke pengadilan. Kepolisian seolah menghadapi tembok tebal ketika dihadapkan dengan perusahaan dan pemilik perusahaan," katanya.

Mirisnya lagi, kata Viator, masyarakat terkesan terlena dan tak lagi merisaukan apalagi nyinyir, karena 2016-2018 bahkan hingga pertengahan 2019 praktis tidak ada karhutla yang serius dan berdampak bencana asap luas.

Di sisi lain, tahapan pengendalian yaitu pencegahan karhutla seolah dikesampingkan. Gagasan akan perlunya Satgas anti karhutla hingga ke tingkat desa oleh Gubernur Anas Maamun (dulu, red), tak lagi bergaung saat ini.

"Gerakan masyarakat untuk pencegahan dan antisipasi dini karhutla nyaris tidak terdengar, yang malah terdengar adalah minimnya anggaran pencegahan karhutla di APBD Riau hingga tahun 2019," katanya.

Disamping itu Pemerintah Pusat juga seolah melupakan Inpres 11/2015 dan Permen LHK 32/2016 tentang Pengendalian Karhutla dan tidak terdengar adanya evaluasi regular atas setiap tahapan pengendalian, khususnya pada tahapan pencegahan (prakarhutla) dan penegakan hukum (pascakarhutla).

Pemerintah seyogyanya mendorong, kata Viator, kalau perlu menekan pemerintah daerah yang rawan karhutla untuk menyusun rencana kerja pencegahan yang sistematis dan partisipatif, disertai dukungan pembiayaan yang memadai di APBD masing-masing.

"Dengan kejadian karhutla sekarang, semoga kita semua semakin tersadarkan bahwa Riau itu sangat rawan karhutla karena karakteristik gambut di wilayah pesisir kita dan disebabkan godaan untung dari kelapa sawit," katanya.

Oleh karena itu, sebaiknya semua pihak fokus pada upaya penanggulangan karhutla ini serta penanganan kasualitas yang sudah terjadi. Nanti setelah tertangani, seriuslah dengan penegakan hukum dan pencegahan.  

Baca juga: 5.809 personel disiagakan untuk tanggulangi karhutla Riau
Baca juga: Kementerian LHK menyegel lokasi kebakaran lahan perusahaan di Kalteng

Pewarta: Frislidia
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019