Kami kehilangan seorang bapak teknologi, eyang Habibie, yang juga adalah idola bagi kami semua, dan menjadi orang tua, pimpinan serta sahabat kami. Kami sungguh kehilangan beliau.
Jakarta (ANTARA) - Pada 11 September 2019, bumi Indonesia menangis atas wafatnya Presiden Republik Indonesia ke-3 Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie setelah menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta, sejak 1 September 2019.

Habibie berpulang menyusul istrinya, Hasri Ainun Besari, dan meninggalkan dua anak, yakni Ilham Akbar dan Thareq Kemal.

BJ Habibie meninggal dunia dalam usia 83 tahun pukul 18.05 WIB di RSPAD Gatot Subroto di Jakarta pada Rabu. Menurut putranya, Thareq Kemal Habibie, dia berpulang karena faktor usia.

Namun kepergian Habibie meninggalkan warisan yang terus terkenang sepanjang masa dalam semangat, kerja keras dan kontribusi pengembangan iptek dan kemajuan pembangunan Indonesia.

Dalam perjalanan hidupnya, pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan pada 25 Juni 1936 itu mengatakan "Hidup saya penuh dengan konsep rekayasa inovasi dan teknologi."

"Berawal di akhir, berakhir di awal", demikian filosofi seorang bapak teknologi Indonesia, BJ Habibie yang menggaung di bumi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) Indonesia.

Kalimat tersebut menjadi pesan yang memacu akademisi, ilmuwan, peneliti dan perekayasa agar riset yang dilakukan harus berangkat dari tujuan yang ingin dicapai. Dengan menetapkan tujuan, maka akan mengerucutkan tindakan, strategi dan cara yang akan dijalani untuk mencapai tujuan yang ditetapkan di awal.

Setiap peneliti, perekayasa, dan akademisi didorong harus menghasilkan terobosan dan produk inovatif terutama bidang ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan bangsa, ekonomi dan kemaslahatan serta kebutuhan masyarakat Indonesia sehingga hasil riset benar-benar bermanfaat dan berperan besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Baca juga: Rektor: Habibie berkontribusi bagi pengembangan Iptek perguruan tinggi

Baca juga: Nanat Fatah: Gagasan imtaq-iptek ICMI dari Habibie

 

Habibie Wafat - Petinggi negara datangi rumah duka



Berbekal sumber daya manusia yang kompeten dan kemampuan inovasi dan teknologi maka Indonesia akan mampu berdaya saing di kancah global dan meraih lompatan-lompatan kemajuan.

Selain memotivasi untuk pengembangan iptek dan inovasi, BJ Habibie yang menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia ke-7, berpesan kepada perekayasa, ilmuwan dan peneliti, dalam suatu pertemuan di kediamannya agar menghasilkan dan mendorong seluruh inovasi untuk mampu mengambil porsi terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Negara Indonesia sehingga Indonesia dapat menjadi negara kuat, mandiri dan maju berbasis iptek.

"Sasaran kita adalah seluruh GDP (Produk Domestik Bruto) apakah sektor pangan, energi terbarukan, atau apa saja yang dibutuhkan, Anda harus bisa. Kalau bukan Anda siapa lagi," kata Habibie yang pernah menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi Indonesia dan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Bahkan Habibie yang merupakan pendiri BPPT berharap kontribusi inovasi dapat menempati 70 persen dari Produk Domestik Bruto, sehingga ekonomi Indonesia bisa berbasis inovasi.

Dengan demikian, maka daya saing bangsa Indonesia akan meningkat di kancah internasional melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan bangsa, termasuk mendorong terbukanya banyak lapangan kerja dalam negeri dan menurunkan biaya operasional karena negeri sendiri bisa menghasilkan tanpa harus mengimpor.

Baca juga: Habibie wafat, Ahmad Dahlan mengenang almarhum sewa pesawat tiap bulan

Baca juga: Obituari - Habibie, jenius pembuat pesawat itu telah pergi


Sosok penting pembangunan Indonesia itu mengukir sejarah dengan terbangnya pesawat perdana buatan Indonesia, pesawat N-250, yang digagas Habibie. Peristiwa itu kemudian menandai lahirnya Hari Kebangkitan Teknologi Nasional pertama pada 1995.

"Kami sangat berduka atas wafatnya Pak Habibie, Presiden ketiga dan kita kenal sebagai Bapak Teknologi Indonesia terutama terkait dengan penerbangan perdana pesawat N250 yang kita peringati sebagai hari Kebangkitan Teknologi Nasional," ungkap Thomas Djamaluddin ketika dihubungi Antara di Jakarta pada Rabu malam.

Thomas menyebut jika mengenang Habibie, tidak bisa lepas dari gerakan untuk membuat Indonesia lebih mandiri dalam bidang teknologi.

Habibie, sesuai dengan bidang kepakarannya di bidang konstruksi pesawat terbang, sangat percaya diri bahwa teknologi penerbangan bisa dikembangkan di Indonesia.

"Mimpi ini yang terus kita wujudkan. Pak Habibie secara umum kita kenal sebagai sosok yang menginspirasi generasi muda untuk membangun bangsa ini dengan iptek," ujarnya.

Habibie juga memberikan berbagai pemikiran yang tertuang dalam konsep Habibienomics yang menyebutkan pentingnya penguasaan teknologi dalam membangkitkan industrialisasi sektor ekonomi nasional.

Bangsa yang maju adalah bangsa yang melandaskan ekonomi berbasis teknologi seperti yang dilakukan Korea Selatan dan Jepang. Untuk itu, Habibie mengatakan penguasaan iptek dan kemampuan sumber daya manusia yang mumpuni akan memberikan peningkatan signifikan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Baca juga: BJ Habibie wafat, Habibienomic warisan penting untuk bangsa Indonesia

Baca juga: Habibie wafat, kemampuannya meramu tim ekonomi bisa diteladani


BJ Habibie pernah menuntut ilmu di Sekolah Menengah Atas Kristen Dago, dan belajar tentang keilmuan teknik mesin di Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung pada 1954. Pada 1955–1965, Habibie melanjutkan studi teknik penerbangan dengan spesialisasi konstruksi pesawat terbang, di Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule Aachen, Jerman Barat, menerima gelar Diplom Ingenieur pada 1960 dan gelar Doktor Ingenieur pada 1965 dengan predikat Summa Cum Laude.

Habibie pernah bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm, sebuah perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman. Namun pada 1973, dia kembali ke Indonesia atas permintaan mantan presiden Republik Indonesia Soeharto.

Lima tahun kemudian tepatnya pada 1978, Habibie menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) hingga Maret 1998. Ketika menjabat sebagai Menristek, Habibie juga terpilih sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang pertama, secara aklamasi pada tanggal 7 Desember 1990.

Puncak karir Habibie terjadi pada 1998 dengan diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia ke-3 dalam masa kepimpinan sejak 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999. Habibie menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Sebelumnya, Habibie menjabat sebagai Wakil Presiden ke-7 sejak 14 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998 dalam Kabinet Pembangunan VII di bawah Presiden Soeharto.

Habibie pernah menjadi Kepala Departemen Riset dan Pengembangan Analisa Struktur, Hamburg, Jerman Barat pada 1966-1969. Kemudian, dia juga pernah menjabat sebagai Kepala Divisi Metode dan Teknologi Pesawat Komersil/Pesawat Militer Messerschmidt Boelkow Blohm (MBB) Gmbh, Hamburg, Jerman Barat pada periode 1969-1973.

Baca juga: Habibie Wafat - Habibie lahirkan generasi intelektual BPPT

Baca juga: Habibie wafat - BPPT: Indonesia kehilangan bapak teknologi Habibie


Bagi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza, Habibie adalah pendiri BPPT yang menjadi inspirasi bagi masyarakat Indonesia terkhusus peneliti dan perekayasa untuk berkontribusi bagi kemajuan teknologi Indonesia.

"Kami kehilangan seorang bapak teknologi, eyang Habibie, yang juga adalah idola bagi kami semua, dan menjadi orang tua, pimpinan serta sahabat kami. Kami sungguh kehilangan beliau," ujar Hammam.

Habibie juga menjadi idola bagi banyak orang termasuk bagi Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko. Handoko memandang Habibie sebagai sosok yang memberikan motivasi untuk terus berkarya mengembangkan iptek Indonesia.

Habibie berpesan untuk bekerja keras memajukan iptek di Indonesia agar tidak kalah dengan bangsa lain.*

Baca juga: Kepala BPPT sebut Habibie bersemangat untuk pulih

Baca juga: BPPT: BJ Habibie adalah sosok penggerak kemajuan teknologi Indonesia

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019