Tanggung jawab keselamatan di perlintasan itu bukanlah urusan institusi yang menangani perkeretaapian saja, melainkan semua pihak
Jakarta (ANTARA) - Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mendorong adanya harmonisasi dan sinergi antara PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkeretaapian Kementerian Perhubungan dan pemerintah daerah dalam menangani perlintasan sebidang antara jalan umum dan rel kereta.

"Tanggung jawab keselamatan di perlintasan itu bukanlah urusan institusi yang menangani perkeretaapian saja, melainkan semua pihak sesuai dengan perundang-undangan. Sinergi dan harmonisasi para pihak yang mempunyai tugas dan wewenang dalam menangani permasalahan ini perlu diciptakan. Mereka adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, kepolisian, dan PT Kereta Api Indonesia selaku operator," ujar Djoko dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Dia mengatakan bahwa dengan semakin tingginya frekuensi perjalanan KA, perlintasan sebidang semakin menjadi sumber masalah. Maka, penutupan atau pengurangan perlintasan sebidang menjadi sangat mendesak dilakukan dan harus menjadi salah satu program nasional dalam upaya menekan angka kecelakaan lalu lintas.

Pertemuan rutin asosiasi kepala daerah dan DPRD (seperti Apkasi, Apeksi, Adeksi, Adkasi) dapat menjadi forum bagi Menteri Perhubungan untuk memberikan pemahaman pada kepala daerah dan anggota DPRD tentang pentingnya keselamatan bertransportasi.

Harus diakui peran pemda untuk aksi keselamatan berlalu lintas masih rendah. Minimnya alokasi anggaran untuk Dinas Perhubungan rata-rata kurang 1 persen dari APBD. Tidak banyak pemda yang berikan alokasi anggaran buat Dishub di atas 3 persen. Hal ini tidak terlepas dari UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda, Perhubungan termasuk wajib nonpelayanan dasar.

Lain halnya dengan pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat, dan sosial termasuk wajib pelayanan dasar.

"Di samping itu, belum adanya persamaan persepsi terkait kewenangan pengelolaan perlintasan sebidang yang menyangkut pelaksana pembangunan, pembiayaan dan SDM (pelaksana lapangan dan pengelola)," kata Djoko.

Sudah pernah ada Nota Kesepahaman Nomor PJ4 Tahun 2013 dan Nomor 551.6/4054/SJ 1 Agustus 2013 antara Kemendagri dan Kemenhub tentang Pengelolaan Perlintasan Sebidang antara Jalur Kereta Api dengan Jalan di Daerah. Namun, perlu pembaharuan terhadap nota kesepahaman itu yang disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan beberapa regulasi yang relevan.

Perlintasan antara jalan rel dan jalan raya ada yang sebidang ada yang tidak sebidang. Perlintasan sebidang ada yang dijaga, tidak dijaga dan liar.

Tidak sebidang dapat berupa underpass (terowongan) atau flyover (jalan layang). Data Direktorat Jenderal Perkeretaapian (2019), terdapat 4.854 perlintasan yang sebidang (92,67 persen) dan 384 perlintasan tidak sebidang (7,33 persen). Perlintasan sebidang terdiri dari 1.238 perlintasan dijaga (23,63 persen), 2.046 perlintasan tidak dijaga (39,06 persen) dan 1.570 merupakan perlintasan liar (29,97 persen).

Kecelakaan pada perlintasan sebidang antara jalan kereta dan jalan termasuk dalam kategori kecelakaan lalu lintas jalan. Data Direktorat Keselamatan Ditjen. Perkeretaapian (2018), rata-rata terjadi 276 kecelakaan per tahun dan 23 kecelakaan per bulan. Menurut KNKT (2019), perlintasan yang dikelola oleh pemda tidak pernah dilakukan audit keselamatan.

Baca juga: Pengamat nilai perlintasan sebidang pada prinsipnya bersifat sementara
Baca juga: Pemerintah akan bangun 400 "flyover" KA Semicepat Jakarta-Surabaya
Baca juga: Terdapat 395 kecelakaan di perlintasan sebidang KA sepanjang 2018
Baca juga: Kemenhub akan rekrut warga jaga perlintasan sebidang

Pewarta: Aji Cakti
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019