Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menjelaskan bahwa penyebutan istilah Empat Pilar MPR RI sudah benar sehingga digunakan hingga saat ini.

"Empat Pilar MPR RI itulah istilah yang benar, dan diizinkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga digunakan sampai sekarang," kata Hidayat Nur Wahid saat membuka Pagelaran Wayang Kulit dalam rangka sosialisasi Empat Pilar MPR RI di hadapan masyarakat Desa Basin, Kecamatan Kebonarum, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Sabtu (7/9) malam.

Baca juga: HNW ajak generasi muda jadikan pendiri bangsa sebagai tokoh inspirasi

Hidayat menjelaskan bahwa dulu saat pertama disosialisasikan pada 2005, kegiatan itu memakai istilah sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Di tengah jalan penggunaan istilah tersebut dilarang oleh Mahkamah Konstitusi.

Kemudian MPR mengubah istilah tersebut menjadi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI.

Baca juga: Hidayat Nur Wahid dorong mahasiswa berperan dalam kebangkitan bangsa

Empat pilar itu adalah Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa, UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika semboyan negara.

"Itulah istilah yang benar, dan diizinkan oleh MK, sehingga digunakan sampai sekarang," kata Hidayat.

Baca juga: Wakil Ketua MPR berharap lembaga penyiaran jadi media penyeimbang

Pagelaran wayang kulit tersebut berlangsung di Lapangan Sosrobaung, Desa Basin, Kecamatan Kebonarum.

Prosesi pembukaan pagelaran wayang kulit itu ditandai penyerahan tokoh Semar oleh Wakil Ketua MPR kepada Dalang Ki Jatmiko Anom Saputro.

Ikut hadir pada acara tersebut anggota MPR Fraksi PKS Abdul Kharis Almasyhari, Kepala Bagian Akomodasi dan Angkutan Sesjen MPR Purwadi, serta Kepala Dinas Kominfo dan Plt. Kabag Kesra Kabupaten Klaten Amin Mustofa, serta Camat Kebonarum Sutopo dan Kepala Desa Basin H Mustafa Kamal.

Pementasan wayang kulit, kerja sama MPR dengan masyarakat Desa Basin, itu mengetengahkan lakon Semar Mbangun Jiwa. Lakon tersebut dipilih karena sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya pasal 31.

Saat ini, kata Hidayat, wayang kulit dipakai sebagai salah satu metode sosialisasi, karena kesenian ini memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat, khususnya di Pulau Jawa.

Dengan begitu diharapkan materi sosialisasi yang diselipkan di tengah pementasan wayang dapat dicerna dan diterima masyarakat luas.

Apalagi, saat ini wayang sudah diterima sebagai kesenian tradisional bangsa Indonesia yang harus dipertahankan di tengah peradaban dunia.

"Yang patut diingat, Pancasila bukan semata dihapal. Hapal sila-sila Pancasila itu baik, tetpi lebih baik lagi jika dilaksanakan dalam kehidupan sehari hari," kata Hidayat menambahkan.

Sebelumnya, Kepala Bagian Akomodasi dan Angkutan Sesjen MPR Purwadi, mewakili Kepala Biro Humas MPR dalam sambutannya mengatakan sosialisasi Empat Pilar dilakukan sejak 2005. Namun, penggunaan wayang kulit sebagai salah satu metode sosialisasi baru diselenggarakan pada 2012.

"Tujuannya agar materi sosialisasi lebih gampang diterima dan dicerna oleh masyarakat umum. Kemudian bisa dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari," katanya.

Pewarta: Jaka Sugiyanta
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019