Di Sumba sendiri, saya belajar dan berbagi tentang ilmu bagaimana menciptakan tari baru yang berakar tradisi sumba atau mengembangkan seni tari di Sumba agar menjadi lebih menarik.
Sumba Barat Daya (ANTARA) - Tari tradisional Sumba seperti juga di daerah lain terkesan monoton dan membosankan sebagai tontonan, komentar seperti itu kerap diungkapkan oleh seniman maupun penikmati seni tari termasuk Anton Prabowo pelaku seni tari.

Anton yang pada 2019 terpilih sebagai salah seorang seniman tari dalam program Seniman Mengajar dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, melontarkan ajakan untuk menciptakan kreasi baru sebagai salah satu cara untuk melestarikan seni tradisional.

Pertunjukkan tari tradisional yang terkesan monoton dan membosankan tidak akan menarik bagi generasi muda, sehinga perlu ada gerakan untuk menciptakan tari kreasi baru berdasarkan tari tradisional, ujar pria asal Magelang, Jawa Tengah itu di sela-sela kegiatan mengajar di Sumba Barat Daya.

Kesan tari Sumba yang monoton juga disampaikan oleh budayawan dan rohaniwan Sumba, Robert Ramone, CsSR ketika membuka pentas seni Presentasi Akhir Seniman Mengajar 2019 di Rumah Budaya, Sumba Barat Daya (SBD), 2 September 2019.

Anton sebagai sarjana Seni tari dari Institut Seni Indonesia (ISI) Jogyakarta itu dikirim oleh Kemdikbud untuk mengajar seni tari di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), Nusa Tenggara Timur selama 42 hari dalam program Seniman Mengajar 2019, mulai Agustus hingga September. Program tersebut diikuti oleh para seniman dari berbagai daerah di Indonesia berdurasi 45 hari termasuk pembekalan dua hari di Kantor Kemdikbud di Jakarta.

Dia mengaku bahwa selama di Sumba bukan hanya mengajar tetapi juga banyak menggali hal-hal baru seputar seni tari di salah satu kabupaten yang berada di wilayah 3 T (terluar, terdepan, tertinggal), sehingga dia memandang program ini lebih tepat disebut sebagai ajang saling-berbagi.

“Seni tari di Sumba ini memiliki keunikan tersendiri. Pola geraknya juga berbeda dari beberapa daerah lain di Indonesia. Rasa dan nilainya juga sangat Sumba dan berbeda dari daerah lain. Artinya Sumba juga mempunyai ciri khas dan identitasnya sendiri,” tutur Anton yang ketika datang sama sekali belum mengenal tari Sumba.

Kini dengan luwes dia bisa menarikan gerak tari Sumba dan mengenal berbagai gerak tari seperti Wolek, Gasakako, Sere, Ronggeng dan banyak lagi.

Selama berada di pulau berjuluk “Tanah Humba” yang dikenal dengan agama lokal Marapu yang juga berkait dengan tradisi tari sebagai bagian dari upacara keagamaan dan adat, Anton “berbagi” ilmu ke sejumlah komunitas dan sanggar tari di beberapa desa di wilayah Kodi, Wewewa, Weelonda dan juga ke kampung-kampung adat.

Baca juga: Festival tari Jateng 2019 di Semarang

Baca juga: 40 sanggar meriahkan Festival Bumi Sejiran Setason

 

Tari Angguk asal Kulon Progo tampil meriah di Bali




Peluang atraksi wisata

Menurutnya, tarian Sumba yang khas saat ini masih disajikan apa adanya yang membuatnya berkesan “kurang greget”.

Padahal atraksi tari saat ini sudah menjadi salah satu pertunjukkan wisata yang potensial untuk meningkatkan kegiatan berkesenian, melestarikan budaya dan memajukan perekonomian suatu daerah.

Sumba saat ini bangkit menjadi salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia berkat keindahan alam dan budaya megalitikum, maka seni tari juga dapat memetik manfaat dari geliat pariwisata tersebut.

Pemuda kelahiran tahun 1996 itu menjelaskan bahwa dalam aspek “gerak” suatu tarian memiliki unsur dinamika misalnya gerak cepat atau lambat, volume gerak, permainan motif, dan ekspresi.

“Untuk pola lantai yang digarap dengan lebih variatif akan membuat pertunjukan menarik, bukan sekedar berjejer berbaris tetapi bisa macam-macam susunan dan bentuk,” kata pria berambut Panjang dan bermata coklat muda itu.

Kita tetap harus menjaga tradisi asli Sumba seperti tari yang mempunyai banyak nilai sehingga seni tersebut tetap lestari dan tidak hilang, ujarnya dengan menambahkan, meski begitu kita juga tidak boleh menutup diri untuk perkembangan tari di Sumba.

Di beberapa daerah lain seni tari tradisi dan kreasi berjalan beriringan dengan iklim festival yang berkelanjutan. Sumba tentunya juga bisa melakukan itu dengan virus virus iklim festival dan tari kreasi oleh para pemuda dan pegiat seni di Sumba.

“Saya biasa disebut sebagai seniman tari karena saya lulus dari Jurusan Seni Tari dan di kampung halaman saya di Magelang, Jawa Tengah. Saya berkecimpung di dunia tari khususnya tari kerakyatan,” kata Anton yang pernah berkesempatan ambil bagian pada ajang Boraks Art Series Oz Asia Festival di Adelaide Australia ( 2018 ).

Baca juga: Tari Cokek miliki makna jaga kebersihan hati

Baca juga: Fahombo lahir dari tradisi perang di Nias


Selain menari, dia juga mempelajari gamelan Jawa, nembang lagu jawa. Tidak hanya itu, pria lajang ini juga belajar tentang membuat topeng kayu.

Dalam berkesenian Anton cukup aktif di beberapa organisasi yang ada di Magelang dan Yogyakarta di antaranya dalam komunitas Lima Gunung, Komunitas Sanggar Saujana, Komunitas magelangan dan Komunitas Katon Art. Selain itu juga sering berproses dengan masyarakat desa untuk mengembangkan tari di Desa.

“Dari tiga tahun yang lalu saya selalu mengikuti Program Pengembangan Wilayah Seni yang diadakan oleh Institut Seni Indonesia Yogyakarta,” dia menegaskan.

Meskipun tergolong sebagai seniman muda usia, Anton juga sering dipercaya menjadi juri lomba tari di sekitar Magelang, dan ketika di Sumba dia juga sempat diminta menjadi salah satu juri lomba tari.

Pengalaman panggungnya lengkap mulai sebagai penata tari, penari juga menjadi kru di belakang panggung sebuah pertunjukan seni.

Beberapa pengalaman yang diingatnya antara lain terlibat dalam Jogja International Festival (2017), Bedog Art Festival (2016), beberapa kali naik pentas di Bali, Kalimantan Timur, Lampung, Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya dan beberapa kota di Indonesia.

Dari buah pikiran dan olah-tari  Anton pernah merancang beberapa tari antara lain Lethong, Kursi Pemerkosa, Sigrak Wanara, Sada Suh dan beberapa karya tari lainnya.

Seniman mengajar merupakan program yang dirancang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menciptakan ruang berbagi antara seniman dan masyarakat dan menciptakan ekosistem atau iklim berkesenian yang bermanfaat untuk masyarakat yang didatangi seniman.

“Di Sumba sendiri, saya belajar dan berbagi tentang ilmu bagaimana menciptakan tari baru yang berakar tradisi sumba atau mengembangkan seni tari di Sumba agar menjadi lebih menarik,” katanya.

Selain berbagai tentang tari, Anton juga berbagi sedikit ilmu tentang manajemen pertunjukan khususnya publikasi dan pembuatan instalasi atau display panggung. “Beberapa kali, kemarin, saya juga membantu pelaksanaan workshop Rias untuk tari. Saya datang ke Sumba bersama tiga seniman lain yang juga ikut di dalam seniman mengajar. Pak Agus Budi Nugroho seorang seniman musik, Mbak Lusiana Limono seorang seniman tekstil dan mas Ahmad Ijtihad seniman media.”

Selain di Sumba Barat Daya, ada 50 seniman yang disebar di beberapa titik diseluruh Indonesia.

Pemilihan titik tersebut didasari oleh daerah rawan bencana, daerah konflik, daerah terluar, dan permintaan dari pemerintah daerah tujuan.

“Kami mendapat banyak manfaat dengan kehadiran Mas Anton, sehingga kreasi tari kami menjadi lebih bagus dan memberi inspirasi untuk mengembangkan kreasi lain,” kata Adriana R. Bela, pimpinan sanggar Tari Wano Tura di kota Sumba Barat Daya, salah satu kelompok yang mendapat pendampingan Seniman Mengajar.

Dini Robaka salah seorang gadis penari dari sanggar tari Aba Luna Lele mengatakan mendapat banyak hal baru dalam seni tari dari Anton Prabowo.

“Apakah bisa memberi evaluasi dan juga arahan bagi kami untuk perkembangan tari Sumba,” kata siswa SMA itu kepada Anton seusai presentasi akhir Seniman Mengajar, dimana kelompok tarinya membawakan tarian “Paga Aro” dengan bantuan penataan gerak oleh sang seniman.*

Baca juga: Tari Piring dan Poco-Poco pikat masyarakat ASEAN di Pyongyang

Baca juga: Silek Arts Festival 2019 hadirkan kenangan maestro tari Gusmiati Suid


 

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019