Pekanbaru (ANTARA) - "Think local, act global". Barangkali kalimat sederhana itu yang pantas disematkan kepada ratusan mahasiswa yang jiwa dan pikiran mereka penuh dengan semangat membara, bermimpi menjadi pemimpin bangsa.

Begitu banyak cerita yang mereka pendam, kisah yang mereka simpan, untuk menjadi sosok berbeda dan berguna. Keluar dari zona nyaman, berani mendobrak budaya, keinginan yang kuat, berkorban lebih berat hingga akhirnya menjadi sosok sederhana dan berguna bagi sesama.

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir tampak begitu bahagia melihat generasi mudanya. Mimik wajahnya seolah berkata, "Aku tenang melihat Indonesia di masa mendatang dengan keberadaan mereka,".

Panas terik dengan suhu hingga 30 derajat Celcius pada Minggu siang (1/9) itu tentu tak bagus bagi Mohamad Nasir, pria bergelar profesor yang segera menginjak usia 60 tahun tersebut.

Namun, luapan kegembiraan dan semangat luar biasanya mengalahkan cuaca panas di tengah tanah lapang luas. Dia berdiri di lapangan sepak bola komplek PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau.

Bergabung bersama 221 mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Indonesia dan negara tetangga Singapura serta Australia. Mereka semua mahasiswa terpilih dengan beragam latar belakang yang berhak memperoleh beasiswa idaman, Beasiswa Teladan dari Tanoto Foundation.

"Ini putra putri terbaik bangsa. Manfaatkan kemampuan sebaik-baiknya untuk negara," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Nasir pun berbagi kisah. Dia mengatakan saat ini generasi muda harus lebih siap menghadapi persaingan yang semakin ketat. Tak lagi cukup mengandalkan kemampuan baca, tulis dan berhitung.

Setidaknya ada tiga kunci literasi untuk menghadapi tantangan global dan menguasai dunia yang dibutuhkan generasi muda Indonesia.

"Dalam (mewujudkan) sumber daya manusia unggul Indonesia maju, saudara dihadapkan dengan situasi era milenial dan global. Dengan menguasai baca tulis dan berhitung sudah tidak cukup lagi," katanya.

Tiga kunci literasi yang saat ini harus dikuasai adalah literasi data, teknologi dan sumber daya manusia.

Dia mencontohkan, GoJek, salah satu start up karya generasi muda Indonesia yang menyandang salah satu Unicorn di kawasan Asia. Data, kata dia, adalah kunci utama Nadiem Makarim dalam mengembangkan GoJek hingga berhasil menjadi raja di negeri sendiri.

Nasir menuturkan bahwa GoJek menjadikan luas dan populasi Indonesia sebagai pangsa pasar utama dalam mengembangkan kegiatan usaha.

Saat ini, kata dia, total kapitalisasi aset GoJek mencapai Rp135 triliun. "Usia 35 tahun sudah punya perusahaan dengan kapitalisasi aset begitu besar," ujarnya saat memberikan motivasi kepada para penerima beasiswa dari 20 universitas negeri Indonesia dan Australia serta Singapura itu.

Selain data, literasi tekhnologi menjadi kata kunci kedua yang harus dikuasai. Dia berpesan, mahasiswa tidak harus menjadi ahli dalam kode, bahasa pemrograman untuk memahami literasi tekhnologi.

"Walaupun anda bukan berasal dari Prodi (program studi) itu, tapi itu penting. Kuasai itu berarti anda kuasai dunia," ujarnya lagi.

Terakhir, dia pun menyebut bahwa sumber daya manusia menjadi aspek penting ketiga yang harus dikuasai oleh mahasiswa.

Dia mengatakan program beasiswa Teladan yang digulirkan Tanoto Foundation sejak tahun 2006, dengan salah satu fokus utama program leadership atau kepemimpinan merupakan salah satu langkah positif membantu pemerintah Indonesia.

"Program yang penting untuk membantu generasi muda Indonesia dalam menghadapi daya saing bangsa," katanya.

Baca juga: Menristekdikti : Program teladan Tanoto bantu tingkatkan daya saing

Baca juga: Menristekdikti bagikan tiga kunci literasi yang perlu dikuasai



Keluar dari zona nyaman

Elviliana, gadis asal Tanjung Pinang, Kepulauan Riau harus mengambil keputusan besar usai lulus sekolah menengah atas. Keterbatasan penghasilan orang tuanya tak melulu menjadi alasan. Budaya bahwa wanita identik dengan dapur juga didobraknya.

Ia mengatakan pendidikan seolah tak menjadi perhatian. Kedua orang tuanya yang hanya lulusan sekolah menengah pertama tak begitu nyata memberikan dukungan.

Namun, kini dia berhasil memutarbalikkan semuanya. Budaya, keterbatasan, diatasi dengan keinginan kuat dan kerja keras. Menjadi mahasiswa Teknik Lingkungan, Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur justru menjadi tujuannya.

Elvi merupakan satu dari 220 penerima beasiswa Teladan dari keluarga Tanoto. Biaya hidup, uang kuliah serta dana dukungan kegiatan pengembangan akademik ditanggung oleh organisasi Filantropi tersebut.

"Saya tidak ingin membebani orang tua. Saya juga punya keinginan kuat untuk membahagiakan mereka," kata gadis berambut lurus itu.

Kini anak tertua dari dua bersaudara itu bisa mematahkan kekhawatiran keluarganya. Dia juga menjadi satu-satunya generasi yang mengenyam pendidikan tinggi di keluarga intinya. Jarak, tak menjadi alasan untuk tidak berkembang.

Perjuangan Silvi juga dialami Pesta Indra Sigalingging, pemuda 27 tahun asal Tanah Toba, Sumatera Utara, kampung kelahiran tokoh nasional Luhut Binsar Pandjaitan.

Tutur bahasa Indra jelas mencerminkan tingkat kecerdasannya. Senada dengan fokus penelitian yang tengah ia kerjakan, Geothermal atau panas bumi. Beberapa tahun silam, Indra hampir saja mengikuti jejak bapaknya, pekerja bangunan, jika tekadnya luntur di tengah jalan.

Namun, anak pertama dari tujuh bersaudara itu percaya selalu ada jalan di tengah kesulitan. Dia ingin memberikan contoh yang baik untuk keluarganya. Mengangkat derajat hidup agar tak lagi dipandang sebelah mata.

Indra kini merupakan mahasiswa Pascasarjana jurusan Fisika di Institut Teknologi Bandung (ITB). Indra juga menjadi salah satu generasi emas yang terpilih mendapat beasiswa penuh dari Tanoto Foundation.

Program beasiswa yang membuat dia begitu bahagia karena berhasil mengubah pola dan cara berpikir. "Saya sebelumnya seorang yang apatis. Namun dengan berbagai pelatihan yang dilaksanakan Tanoto saya menjadi sadar peduli dengan lingkungan," ujarnya.

 
Pesta Indra Sigalingging (kiri) dan Elviliana (kanan), dua mahasiswa Institut Teknologi Bandung dan Universitas Brawijaya penerima beasiswa Teladan dari Tanoto Foundation, (ANTARA/Anggi Romadhoni)


Baca juga: Tanoto Foundation latih 150 tenaga pendidik di Jambi

Baca juga: Tanoto Foundation jalin kemitraan Asia Philanthropy Circle


Bergulir sejak 2006

CEO Global Tanoto Foundation Satrijo Tanudjojo mengatakan sejak awal bergulir hingga kini, terdapat 7.500 mahasiswa setingkat sarjana telah memperoleh beasiswa dari Tanoto Foundation.

Penerima beasiswa tidak hanya mendapat dukungan dana kuliah, biaya hidup namun juga pendanaan kebutuhan penelitian hingga kegiatan penunjang akademis lainnya.

Selain itu, ia mengatakan Tanoto Foundation memberikan pelatihan kepemimpinan atau leadership, seperti yang dilangsungkan pada hari ini di komplek PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Pangkalan Kerinci, Riau. Program reguler yang berlangsung setiap tahun.

Seperti yang berlangsung saat ini, Learn and Lead Tanoto Scholar Gathering 2019. "Kita ingin punya generasi yang menjadi pemimpin Indonesia di masa mendatang," kata Satrijo.
 
CEO Global Tanoto Foundation Satrijo Tanudjojo. (ANTARA/Anggi Romadhoni)


Penerima beasiswa Teladan yang merupakan akronim dari Transformasi Edukasi untuk Melahirkan Pemimpin Masa Depan itu ditanamkan untuk memiliki sembilan karakter.

Karakter kuat yang akan terus menjadi bekal mereka hingga menjadi pemimpin di masa mendatang. Karakter yang meliputi sadar diri, bersemangat, memiliki integritas, belajar berkelanjutan, ulet dan berkarakter kuat, peduli sesama, memberdayakan sesama, inovatif dan memiliki semangat kewirausahaan.

"Sembilan karakter ini yang diinginkan oleh Bapak Sukanto Tanoto agar generasi masa depan Indonesia memiliki kualitas dan karakter serta pola pikir yang kuat," katanya.*

Baca juga: PINTAR: Pembelajaran di kelas harus terpusat di siswa

Baca juga: Puan beri motivasi belajar 150 mahasiswa Program Teladan Tanoto Foundation

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019