Jakarta (ANTARA) - Hubungan Indonesia dengan negara-negara Afrika memasuki babak baru dengan semakin bertambahnya proyek-proyek infrastruktur yang dipercayakan Afrika untuk digarap oleh Indonesia.

Capaian baru ini secara konkret ditunjukkan dengan total kesepakatan bisnis senilai 822 juta dolar AS atau sekitar Rp11,7 triliun yang tercipta selama penyelenggaraan Dialog Infrastruktur Indonesia-Afrika (IAID) di Bali, 20-21 Agustus 2019.

Proyek-proyek infrastruktur mendominasi kesepakatan bisnis yang dihasilkan selama IAID 2019, antara lain proyek pembangunan kawasan bisnis terpadu (mixed used complex) La Tour de Goree Tower senilai 250 juta dolar AS di Dakar, Senegal; proyek konstruksi rumah susun (social housing) senilai 200 juta dolar AS di Songon, Pantai Gading; serta proyek pembangunan pelabuhan terminal liquid (bulk liquid terminal) senilai 190 juta dolar AS di Zanzibar-Tanzania.

Ketiga proyek tersebut digarap oleh PT Wijaya Karya (WIKA) dengan bantuan pembiayaan dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank.

Sejumlah BUMN lain seperti PT Industri Kereta Api (INKA), PT Waskita Karya, PT Len Industri, dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) juga mendapat kesempatan menyasar sektor perkeretaapian di Afrika.

Keempat BUMN tersebut membentuk konsorsium bernama Indonesia Railway Development Consortium (IRDC) yang diharapkan dapat mengibarkan Bendera Indonesia di Afrika dengan menawarkan one step solution terkait layanan infrastruktur perkeretaapian.

Untuk menindaklanjuti IAID 2019, PT INKA menerima kunjungan delegasi Zimbabwe dan Angola yang tertarik membeli produk kereta dari Indonesia.

Menurut Direktur Utama PT INKA Budi Noviantoro, Afrika merupakan pasar yang sangat potensial mengingat wilayahnya sangat luas tetapi belum banyak memiliki infrastruktur transportasi.

Sayangnya, sejumlah negara Afrika seperti Zimbabwe dan Angola, memiliki masalah keuangan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur mereka.

Karena itu, INKA menyediakan sejumlah opsi yang dapat digunakan sebagai solusi permasalahan tersebut, salah satunya dengan pengembangan sinergi beberapa BUMN yang disebut Budi sebagai Indonesian Incorporated.

BUMN yang telah tergabung dalam sinergi ini adalah PT INKA, PT WIKA, PT Len Industri, dan diharapkan Indonesia Eximbank bisa turut mendukung dari sisi pembiayaan.

Melalui sinergi tersebut, INKA berupaya mendapatkan pasar pengembangan produk perkeretaapian di Afrika yang meliputi penyediaan sarana perkeretaapian dan prasarananya, termasuk infrastruktur, operasional, pemeliharaan, dan solusi pendanaan.

“Jadi kita lihat, negara mana di Afrika yang memiliki komoditas bagus, banyak, dalam partai besar. Nanti BUMN tambang akan masuk duluan dan bekerjasama dengan mereka. Hasil tambang tersebut yang kita gunakan untuk pembayaran kereta apinya,” ujar Budi.

Salah satu negara Afrika yang sedang disasar oleh PT INKA adalah Madagaskar, mengingat negara tersebut memiliki tambang bijih kromium dan bauksit yang sangat potensial.

Madagaskar, yang telah mengekspor produk tambangnya ke negara-negara lain, membutuhkan peningkatan kapasitas industri dan pengembangan jalur distribusi.

“Masalahnya adalah transportasi, sekarang ini produk tambang di Madagaskar masih diangkut dengan truk. Kapasitasnya baru sekitar 5.000 ton per bulan, sedangkan mereka butuh alat transportasi sampai 100.000 ton per bulan,” kata Budi.

Budi ingin mengajak BUMN tambang Indonesia seperti PT TIMAH atau PT Aneka Tambang untuk bekerjasama dengan BUMN tambang di Madagaskar dalam mengolah hasil tambang negara tersebut.

“Madagaskar yang kami incar adalah angkutan kromium, jadi perusahaan tambang kita harus join dengan mereka. Jadi end user-nya tetap harus dari Indonesia. Sementara INKA akan mengangkut produk dari lokasi tambang ke pelabuhan melalui jalur kereta api yang kami harapkan bisa digarap oleh PT WIKA,” ujar Budi.

 

Pembiayaan

Terkait pembiayaan, LPEI (Indonesia Eximbank) membantu pendanaan sejumlah proyek infrastruktur strategis di Afrika melalui fasilitas buyer’s credit.

“Ke depan kita sedang galakkan buyer’s credit, terutama untuk proyek-proyek yang nilainya besar,” kata Direktur Eksekutif LPEI Shintya Roesly di sela-sela IAID 2019.

Pemberian fasilitas buyer’s credit, yang pembiayaannya diberikan kepada pembeli produk dan jasa Indonesia di luar negeri, bukan tanpa alasan.

Buyer’s credit merupakan fasilitas yang hanya dapat disediakan oleh LPEI dengan tujuan meningkatkan ekspor Indonesia dari sisi pembeli (demand side). Skema ini merupakan bentuk nyata dari peran LPEI untuk mengisi ceruk pasar (fill the market gap).

Kesepakatan bisnis sebesar 356 juta dolar AS atau sekitar Rp5,07 triliun telah ditandatangani LPEI dengan PT WIKA untuk menggarap tiga proyek di Afrika.

Ketiga proyek yang mendapat fasilitas buyer’s credit dari LPEI adalah pembangunan pelabuhan terminal liquid di Zanzibar-Tanzania, pembangunan kawasan bisnis terpadu Goree Tower di Senegal, dan pembangunan rumah susun di Pantai Gading.

LPEI, menurut Shintya, memiliki kapasitas untuk mendukung PT WIKA dalam pembangunan ketiga sarana infrastruktur tersebut.

 

Nilai tambah

Direktur Utama PT WIKA Tumiyana menyebut pembangunan kawasan bisnis terpadu Goree Tower di Senegal, yang nilainya mencapai 250 juta dolar AS, adalah proyek besar yang akan menjadi ikon di negara itu.

“Bangunan ini juga akan menjadi simbol persahabatan antara Senegal dan Indonesia,” kata Tumiyana usai penandatanganan perjanjian kerja sama proyek tersebut, di sela-sela IAID 2019.

Goree Tower dirancang menjadi bangunan multifungsi antara lain apartemen dan hotel, untuk menunjang sektor pariwisata di Senegal yang disebut sebagai “La Tour De Goree”.

Keberadaan hotel di Goree juga sangat dibutuhkan oleh Senegal yang akan menjadi tuan rumah Olimpiade Pemuda pada musim panas 2022.

Menurut Menteri Urusan Pertumbuhan Senegal (Minister Delegate in Charge of Senegal Emergent ) Cheikh Kante, realisasi proyek ini akan dapat menggandakan jumlah kunjungan turis Amerika Serikat, khususnya dari Miami, ke Pulau Goree di Senegal.

Pulau ini memegang peran penting dalam sejarah Amerika Serikat dan Senegal, karena dahulu banyak budak yang diperjualbelikan dan dipekerjakan di Amerika Serikat berasal dari Goree.

“Goree adalah objek wisata universal yang berkontribusi pada budaya dunia,” kata Kante.

Mengingat begitu mendesaknya pembangunan proyek ini, pemerintah Senegal menargetkan peletakan batu pertama Goree Tower dapat dilaksanakan awal Desember tahun ini dan dihadiri langsung oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

“Dengan proyek ini, sektor swasta Indonesia yaitu WIKA akan menciptakan langkah baru yang akan membawa pada proyek-proyek penting lain di Afrika,” tutur Kante.

Kesepakatan Indonesia dan Senegal untuk pembangunan Goree Tower ini sesuai dengan misi diplomasi ekonomi Indonesia untuk menggarap pasar nontradisional Afrika.

Misi membangun

Untuk melaksanakan misi ini, Indonesia siap berbagi pengalaman bisnis dan investasi dengan Afrika dalam upaya membantu pembangunan dan pengentasan kemiskinan di benua tersebut.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa saat ini Indonesia memiliki empat kriteria bagi pihak asing yang ingin berinvestasi di Tanah Air.

Empat syarat ini, yang bisa juga dicontoh oleh Afrika, dinilai penting agar investasi asing di dalam negeri tidak hanya menguntungkan pihak investor tetapi juga membawa manfaat bagi masyarakat lokal.

“Kita harus berbagi pengalaman baik dan pengalaman pahit. Pengalaman pahit kita, bagaimana orang datang berinvestasi di Indonesia hanya mengambil (sumber daya alam) saja, tidak pernah memberikan nilai tambah. Ini yang kita alami berpuluh-puluh tahun, jangan sampai terjadi di Afrika,” kata Luhut dalam pernyataan pers bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di sela-sela penyelenggaraan IAID 2019.

Empat kriteria investasi yang disyaratkan oleh pemerintah Indonesia kepada investor asing adalah penggunaan teknologi paling mutakhir, adanya transfer teknologi, dilakukan secara business to business, dan sebanyak mungkin menggunakan tenaga kerja Indonesia.

Menurut Luhut, Indonesia memiliki pendekatan yang lebih realistis untuk mengembangkan kerja sama ekonomi dengan negara-negara Afrika---meskipun secara modal mungkin tidak memiliki kemampuan sebesar negara-negara maju seperti Jepang, China, Eropa, atau Amerika Serikat.

Pendekatan ini didasarkan pada masalah yang dihadapi bersama, seperti diantaranya kemiskinan dan stunting sehingga penyelesaiannya membutuhkan kerja sama kedua pihak.

“Pendekatan ini lebih menyentuh buat mereka. Dan saya merasakan betapa Afrika sangat menunggu kita membuka hubungan ini, jadi rasa persaudaraannya kental sekali,” tutur Luhut.

Semangat Indonesia untuk turut berkontribusi terhadap pembangunan Afrika disambut baik, di antaranya oleh Kepala Staf Kepresidenan Republik Niger Ouhoumoudou Mahamadou.

Mahamadou, yang menjadi salah satu panelis diskusi bertema “Energi dan Pertambangan” sebagai rangkaian acara IAID 2019, mengharapkan lebih banyak investasi asing yang bisa menciptakan transfer teknologi bagi masyarakat Niger.

“Afrika saat ini bergerak maju menuju berbagai peluang ekonomi besar yang akan menarik lebih banyak konsumen,” tutur dia.

Dengan memanfaatkan pasar dan kerja sama dengan berbagai negara serta organisasi regional, ia yakin Afrika akan dapat mencapai potensi penuhnya.

Baca juga: Dialog infrastruktur pembawa pesan persaudaraan Indonesia-Afrika
Baca juga: Indonesia berbagi pengalaman bisnis, investasi dengan Afrika
Baca juga: Luhut: Perusahaan Indonesia di Afrika harus memberi nilai tambah
Baca juga: Selenggarakan IAID, Indonesia jawab harapan kerja sama Afrika


Editor: Maria D Andriana
Copyright © ANTARA 2019