Mekkah (ANTARA) - Sepulang dari Jamarat, Jaetul Muchlis kembali ke tenda Misi Haji Indonesia di Mina. Ada yang aneh ketika awan mendung tiba-tiba menggantung di tengah hawa terik siang di langit Mina.

Jaetul yang tahun ini dipercaya sebagai Kepala Satuan Operasi Arafah Muzdalifah Mina (Armuzna) itu pada dasarnya memang telah siap dengan segala kemungkinan terburuk mengingat sehari sebelumnya, ia berjibaku mengantisipasi agar tak ada celah sedikit pun ketika hujan deras mengguyur Arafah tepat saat jamaah haji sedang berwukuf. Syukur tak ada kendala berarti kala itu.

Namun, ia menyadari Mina adalah titik kritis yang lain. Ingatannya terlempar jauh pada kenangan bertahun-tahun silam ketika pada 2015 terjadi "Tragedi Mina Crash 204".

Pria berpangkat kolonel kelahiran Cianjur 22 Juni 1968 itu menjadi Ketua Tim Identifikasi Jenazah Jamaah Indonesia korban peristiwa Mina. Kenangan traumatis yang sungguh menyesakkan dadanya itu menjadikan Jaetul bersiaga penuh atas Mina.

Ia bukan sekali dua kali keluar masuk ruang penyimpanan mayat jamaah yang mulai rusak dan membusuk kala itu, dan sungguh kenangan tentang itu membuat tulang belulangnya terasa nyeri menahan ngilu. Maka Mina bagi Jaetul adalah amanah tertingginya.

Ayah tiga anak itu bahkan pernah membongkar kantung mayat yang berisi potongan tubuh jamaah korban jatuhnya crane di Masjidil Haram. Ia mengacak dan mengaduk dengan tangannya untuk mencari potongan tubuh dengan gelang identitas seorang jamaah haji Indonesia. Perjuangannya berbuah manis ketika setahun setelahnya jenazah yang ia temukan teridentifikasi melalui tes DNA.

Tahun ini, kegalauan pun merundung, terlebih ketika suara gemuruh petir menyambar di langit Kota Mekkah.

Sesuatu yang telah jauh ia prediksi di sudut benaknya itu pun terjadi tahun ini, hujan mengguyur Kota Mekkah. Derasnya membuat perasaan Jaetul tak menentu.

Ketika tetesan air mulai merembes ke sela-sela tenda Mina yang bercelah, ia langsung mengambil ponsel pintarnya. Ia meminta semua tim perlindungan jamaah bersiap di titik-titik kritis Mina, termasuk Mina Jadid.

Ia sendiri langsung bergegas menuju Terowongan Muashim, Jaetul ingin memastikan jamaah haji Indonesia yang berombongan dari kemah menuju Jumarat untuk lempar jumrah sebelum tadi hujan turun baik-baik saja.

Terowongan Muashim juga merupakan titik krusial yang paling diwaspadainya, mengingat kenangan buruk pernah berkali-kali terjadi di tempat itu.

Benar saja apa yang ditakutkannya terjadi. Mulut terowongan telah digenangi air hingga hampir setinggi lutut orang dewasa (10 cm di atas mata kaki). Sementara hujan deras masih terus mengguyur.

Pemandangan jamaah yang berjibaku untuk bisa terbebas dari genangan hingga mereka yang didorong di atas kursi roda dalam kubangan air sungguh membuat batinnya ingin menjerit.

Listrik Padam
Sejumlah titik di Mina terendam air hingga jalanannya lebih menyerupai sungai berarus deras. Beberapa titik bukit batu bahkan serupa air terjun yang menggelontorkan air ke tempat yang lebih rendah.

Sebagian boleh jadi panik, sebab ketika ditangkap dengan lensa kamera, kejadian tampak mulai mengkhawatirkan. Jaetul menarik napas, ia mengontak muassasah dan pengelola maktab untuk memastikan semua terkontrol dan terantisipasi dengan sempurna.

Ia juga memastikan, tak ada jamaah dari Indonesia yang terluka atau sakit akibat hujan deras ini. Jaetul langsung memerintahkan kepada jajarannya agar jamaah haji Indonesia tetap di tenda dan bagi mereka yang akan melempar jumrah ditunda hingga hujan reda.

Pria yang sehari-harinya bertugas sebagai perwira menengah Staf Ahli Kasau itu mendapatkan kabar lain bahwa listrik akan dipadamkan sementara waktu.

Hal itu membuatnya berpikir keras untuk meminimalisasi dampaknya terhadap jamaah. Namun, pemadaman listrik menjadi suatu hal yang tak terelakkan mengingat keselamatan jamaah jauh lebih penting karena standar operasional prosedur Pemerintah Arab Saudi adalah memadamkan listrik jika terjadi genangan air akibat hujan.

Mereka memiliki instalasi listrik di bawah tanah yang justru sangat berbahaya jika tidak dipadamkan saat terjadi genangan. Jaetul memastikan semuanya berada dalam kontrolnya, termasuk kondisi jamaah hingga mereka yang tendanya bocor. Karpet pun digulung.

Namun, Jaetul tetap melarang jamaah keluar dari tenda apapun alasannya meskipun listrik padam sekalipun. Ia menyadari bahwa hal itu akan menjadi masalah tersendiri tetapi baginya keselamatan jamaah adalah nomor satu.

Keterlambatan distribusi makanan pun tak terelakkan hingga ada dari jamaah yang mendapatkan jatah makan malamnya menjelang dini hari.

Tetapi Jaetul tetap berupaya bahwa segala sesuatu yang terjadi malam itu masih tetap di bawah kendalinya. Sampai kemudian hujan mereda dan Mina telah kembali kering seperti sediakala. Hujan ibarat membawa lari serta bekas-bekasnya termasuk kekhawatiran Jaetul akan banyak hal yang sempat ditakutkannya.

Hoaks banjir
Jaetul telah setidaknya kembali tersenyum ketika peristiwa hujan sesaat itu berlalu. Dampak hujan bagi jamaah Indonesia pun nyaris tak terasa meski beberapa harus merasakan ketidaknyamanan akibat tenda bocor, listrik padam, hingga terlambat makan. Namun secara umum, kejadian itu tak memakan korban jiwa.

Jaetul kaget saat ponselnya tiba-tiba tak berhenti menerima notifikasi pesan yang masuk. Ia tak habis pikir ketika mendapati banyak pesan pertanyaan kepadanya mengenai kondisi di Mina.

Rupanya berita hujan di Mina telah menjadi bola salju yang begitu besar di Tanah Air. Betapa hujan di Mina telah dipersepsikan begitu rupa menjadi banjir yang terkesan sangat mengerikan dan membahayakan jamaah haji Indonesia di Tanah Suci.

Rasa kesalnya pun memuncak, namun ia menyadari bahwa menangkal berita hoaks itu menjadi tugasnya yang lain. Jaetul pun berpikir keras untuk bisa meluruskan opini yang beredar. Ia mengontak sejumlah wartawan dan berkoordinasi dengan jajaran di Kementerian Agama.

Bagi Jaetul membuat kontra opini tentang banjir dan meyakinkan publik di Tanah Air bukan perkara mudah. Ia sungguh geram kepada penyebar video-video kejadian banjir yang dibumbui dengan peristiwa-peristiwa tak terkait lain.

Mereka tak ada di lokasi kejadian, namun dengan entengnya menyebarkan video-video yang tak terkonfirmasi secara faktual.

Jaetul pun beberapa kali kemudian menjadi narasumber dalam pemberitaan dan memberikan kesaksian untuk menenangkan publik di Tanah Air bahwa hujan di Mina tak mendatangkan dampak yang amat sangat serius bagi jamaah haji Indonesia.

Pekerjaan Jaetul belum juga usai tatkala ia juga harus berhadapan dengan birokrasi dan regulasi Pemerintah Arab Saudi yang memiliki pola dan tradisi yang benar-benar berbeda. Di sisi lain Jaetul harus memimpin pasukan yang sebagian besar tidak memiliki pengalaman banyak di lapangan.

Wajar jika kemudian saat operasi berlangsung kerap kali tidur merupakan suatu hal yang mewah baginya. Ia bahkan pernah 2 x 24 jam tidak tidur dan harus memonitor 10 grup whatsapp untuk memastikan pelayanan jamaah haji terkontrol dengan baik.

Lantaran jarang tidur, seorang petugas kesehatan diam-diam pernah memasukkan obat penenang ke dalam minumannya untuk memaksanya beristirahat.

Ia terkenang ingatannya tiga tahun silam ketika pertama menjadi Kepala Satuan Operasi Armuzna 2016, saat itu ia masih dihantui trauma penugasan setahun sebelumnya ketika terjadi tragedi Mina.

Jaetul tak bisa menahan tubuhnya yang sempoyongan saat bertugas di Jamarat karena dua hari tak tidur sejak 8-10 Zulhijah. Ia sebetulnya ingin bertahan hingga jam-jam kritis lempar jumrah terlewat.

Tak mampu menahan kantuk, ia menyerah dan tumbang hingga tertidur di samping tong sampah plastik besar dengan alas kardus sampah di balik pembatas jalan lantai 3 Jamarat. Ia terkapar sendirian hingga terbangun dan menemukan tanpa teman satupun yang ia kenal di tempat itu.

Nama Jaetul Muchlis memang tak pernah diragukan dalam totalitas pengabdiannya. Ia tak pernah ingin setengah-setengah.

Termasuk ketika pada 2017 dalam misi pencarian jamaah ghoib (hilang). Ia naik turun bukit dan gunung terjal di sudut Mekkah untuk mencari anggota jamaah yang menderita demensia yang membayangkan diri mereka ingin bertanam jagung.

Sementara ia pernah juga harus mencari anggota jamaah lain di pegunungan yang membayangkan diri mereka seorang pertapa yang akan bersemedi di gua-gua di jabal Mekkah.

Maka perjuangan Jaetul adalah jejak dari pergulatannya melawan rasa khawatir sekaligus keikhlasannya dalam mengabdi.

Banyak yang percaya jika sosoknya memang merupakan salah satu yang ditunggu di pintu surga oleh para syuhada yang telah dibantunya di Tanah Suci.

Ia yang telah 10 kali ditugaskan sebagai bagian dari Panitia Penyelenggara Ibadah Haji Arab Saudi itu senantiasa terngiang ucapan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag ketika itu: "Pak Muchlis itu ditunggu syuhada Mina di surga."

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019