Yangon (ANTARA) - Ribuan orang berdemonstrasi pada Rabu di jalan-jalan kota terbesar di Yangon, Myanmar, baik yang pro- maupun kontra-perubahan undang-undang dasar yang diusulkan yang akan mengurangi kekuasaan militer.

Liga Nasional bagi Demokrasi (NLD), yang memerintah dan dipimpin Aung San Suu Kyi, mendorong perubahan kendati ada keberatan dari anggota parlemen militer, yang memegang hak veto terhadap amandemen.

Pada pagi hari, ratusan demonstran --yang dipimpin oleh pegiat yang tidak bergabung dengan NLD-- berkumpul di Sule Pagoda di bagian tengah Yangon sambil memakai ikat kepala merah dengan kata-kata "Ubah Undang-Undang Dasar 2008".

"Pemerintah saat ini berusaha bergerak maju, tapi mereka tak bisa sebab ada Undang-Undang Dasar 2008," kata penyelenggara protes Pyae Phyo Zaw, sebagaimana dikutip Reuters --yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu. Ia juga menyeru para pemimpin terpilih agar diberi pengawasan atas pasukan keamanan.

Setelah beberapa dasawarsa kekuasaan militer, peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi memangku jabatan pada 2016, setelah kemenangan besar dalam pemilihan umum, tapi dipaksa berbagi kekuasaan dengan para jenderal.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar, yang dirancang oleh bekas junta, kepala militer mencalonkan seperempat anggota parlemen dan menteri pertahanan, urusan dalam negeri dan urusan perbatasan.

UUD juga menghalangi Suu Kyi menjadi presiden, dengan larangan calon presiden dengan pasangan asing atau anak-anak asing. Suu Kyi memiliki dua putra dari mendiang suaminya, Michael Aris, akademikus Inggris.

Beberapa ribu orang berpawai di Pagoda Sule pada Rabu sore dalam protes terpisah, dan pamflet terpasang dengan kata-kata yang menyeru "mereka yang mencintai agama dan ras mereka" agar turun untuk menentang pembaruan UUD.

Satu gerakan nasionalis yang dipimpin oleh pendeta Buddha mengecam Suu Kyi dan menjadikan militer sebagai pelindung bangsa, yang kebanyakan pemeluk Buddha. Media lokal telah mewawancarai sebagian peserta pawai masa lalu oleh gerakan tersebut yang mengatakan mereka dibayar untuk hadir dan tak banyak tahu mengenai masalah yang mereka dukung.

Demonstran pada Rabu memegang spanduk yang menyerukan pembatasan piagam mengenai calon presiden dan agar perubahan UUD dilestarikan.

"Agama dan ras kita akan hilang tanpa tembakan jika orang dari agama berbeda dapat memangku jabatan presiden," kata seorang pemrotes, Shwe Yamin.

Sumber: Reuters
Baca juga: Amnesty International mencabut penghargaan HAM untuk Aung San Suu Kyi
​​​​​​​Baca juga: Indonesia tekankan pentingnya keamanan repatriasi Rohingya di Rakhine
​​​​​​​
Baca juga: Myanmar ampuni hampir 7.000 narapidana dalam amnesti kedua bulan ini

Penerjemah: Chaidar Abdullah
Editor: Maria D Andriana
Copyright © ANTARA 2019