Caracas (ANTARA News) - Presiden Nicolas Maduro dinyatakan sebagai pemenang pemilihan presiden Venezuela pada Minggu waktu setempat, yang pemungutan suaranya disebut tidak sah oleh lawan-lawannya yang menyerukan penyelenggaraan pemilihan umum baru akhir tahun ini.

Terguncang akibat krisis ekonomi yang menghancurkan, hanya 46 persen pemilih yang memberikan suara mereka dalam pemilihan umum yang diboikot oleh oposisi dan dikecam oleh sebagian masyarakat internasional itu.

Hasil resmi memberi Maduro 67,7 persen suara, sementara pesaing utamanya Henri Falcon menempati posisi kedua dengan 21,2 persen suara.

Maduro memuji kemenangannya sebagai sebuah "catatan sejarah" dalam pidato di hadapan ribuan pendukung di luar Istana Kepresidenan Miraflores di Caracas.

"Tidak pernah ada sebelumnya, seorang kandidat presiden memperoleh 68 persen suara rakyat," katanya.

Namun lawannya menuduh proses pemilihan itu tidak sah.

"Kami tidak mengakui proses pemilihan ini sah, atau benar," kata Falcon dalam sebuah konferensi pers, bahkan sebelum hasilnya diumumkan.

"Bagi kami, tidak ada pemilu. Kita harus menggelar pemilu baru di Venezuela," kata Falcon, yang dalam jajak pendapat terakhir bersaing ketat dengan Maduro.

Falcon mengatakan pemilu baru bisa digelar November atau Desember sebagaimana biasa. Pemerintahan Maduro memajukannya beberapa bulan, memicu kritik internasional dan boikot dari oposisi utama.

Maduro telah membawa ekonomi produsen minyak Venezuela yang semula kaya menuju kemunduran sejak berkuasa tahun 2013. Hiperinflasi; kelangkaan pangan dan obat; peningkatan kejahatan; gangguan pasokan air, listrik dan transportasi; telah memicu gejolak dan mendorong ratusan ribu warga Venezuela meninggalkan negara Amerika Selatan itu dalam beberapa tahun terakhir.


Pemungutan Suara

Mengenakan kaus merah untuk menunjukkan identitasnya sebagai "Chavista", Maduro datang awal ke tempat pemungutan suara bersama istrinya, bekas jaksa Cilia Flores.

"Pilihanmu menentukan: suara atau peluru, tanah air atau koloni, perdamaian atau kekerasan, kemerdekaan atau subordinasi," kata pria 55 tahun bekas sopir bus dan pemimpin serikat pekerja itu.

Antrean kecil pemilih, kebanyakan pendukung Maduro, terjadi di sejumlah pemungutan suara, namun yang lain separuh kosong menurut koresponden AFP yang melaporkan dari beberapa kota.

Falcon, bekas perwira militer berusia 56 tahun yang gagal mendapat dukungan oposisi utama, menuduh pemerintah mengarahkan para pemilih. Sementara ratusan warga Venezuela turun ke jalan-jalan di beberapa ibu kota negara Amerika Latin, termasuk Bogota, Lima dan Buenos Aires, serta Madrid, untuk mengecam pemilihan itu. (kn)

 

Pewarta: -
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018