Saya menekankan bahwa isu (ABK, red) ini bukan merupakan isu antara swasta. Namun, pemerintah juga harus terlibat untuk memastikan pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan ini tidak terjadi di masa mendatang
Jakarta (ANTARA) - Grup Gerakan Pelaut Sosmed (GPS) di media sosial Facebook tidak pernah sepi sejak dibuat pada 8 Juli 2020. Banyak anak buah kapal (ABK) Indonesia dan mereka yang telah lama berkecimpung di dunia pelayaran berbagi informasi mengenai situasi kerja di atas kapal-kapal pencari ikan milik asing.

Tidak terkecuali juga informasi mengenai laporan penyiksaan, kabar kepulangan, dan kabar orang hilang yang diunggah oleh sanak saudara beberapa ABK yang lama tidak pulang ataupun sekadar berkirim pesan ke keluarga di rumah.

Sekitar 16 jam lalu, notifikasi di grup kembali berbunyi. Kali ini, seorang anggotanya, Erix Extada, mengunggah kabar kepulangan 16 ABK Indonesia yang bekerja di Kapal Long Xing 625 dari Senegal.

Ia mengatakan beberapa ABK Indonesia lainnya akan menyusul pulang ke tanah air pada awal November 2020. Kabar itu pun disambut gembira pengguna lainnya, beberapa berterima kasih karena informasi itu menenangkan bagi mereka yang lama menunggu keluarganya pulang.

Namun kabar bahagia itu kontras dengan unggahan minggu lalu yang menunjukkan seorang ABK Indonesia diduga menjadi korban penganiayaan di atas kapal pencari ikan berbendera China, Rong Da Yang 7 di perairan Fiji.

"[...] Kami dari keluarga korban atas nama: Samiun Saketa yang sekarang ini telah dianiaya di kapal China Rong Da Yang 7 yang beroperasi di Fiji. Kami dari keluarga meminta bantuan kepada Pemerintah Indonesia agar cepat untuk mengambil tindakan tegas menanggapi kasus ini," kata seorang pengguna Facebook, Sarhsya Rumsak, lewat unggahannya di grup Gerakan Pelaut Sosmed, 9 Oktober 2020.

Sejauh ini, pihak pengelola grup dan pemilik akun yang mengunggah laporan penganiayaan, belum dapat dihubungi untuk dimintai konfirmasi lebih lanjut.

Laporan semacam itu bukan yang pertama diunggah di grup Gerakan Pelaut Sosmed, mengingat sejak dibentuk tiga bulan lalu, ada banyak laporan dugaan penganiayaan dan pelanggaran kontrak kerja yang dialami para ABK Indonesia di atas kapal-kapal pencari ikan luar negeri.

Meskipun informasi itu masih perlu pendalaman dan konfirmasi lebih lanjut, banyak informasi yang kemudian viral akhirnya mendapat perhatian dari media massa dan pemerintah.

Sejumlah informasi di media sosial itu acapkali menjadi awal terkuaknya praktik-praktik eksploitasi, tindak pidana perdagangan orang (TPPO), bahkan perbudakan modern yang dialami oleh sejumlah ABK Indonesia.

Beberapa kasus telah masuk jalur hukum, di antaranya dugaan TPPO di kapal berbendera China Long Xing 629 yang masih ditangani oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri dan beberapa kantor kejaksaan di Jawa Tengah, yaitu di Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Brebes.

Menurut data Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), sebagaimana diunggah di laman resminya bulan lalu, ada aduan 11 ABK Indonesia yang meninggal selama bekerja di kapal asing pada periode 2015-2020. Dalam laporan itu, SBMI membuat kronologi kematian yang kemungkinan beberapa di antaranya disebabkan oleh penganiayaan, pemaksaan kerja melebihi aturan standar, dan pembiaran yang dilakukan oleh kapten kapal saat ABK sakit.

Tidak hanya itu, SBMI juga menerima 338 aduan praktik kerja paksa yang dialami ABK Indonesia selama periode 2015-2020. Beberapa masalah yang cukup dominan, di antaranya penahanan upah, penipuan, kondisi kerja dan kehidupan yang buruk, pembatasan pergerakan, jeratan utang, jam kerja berlebih, penahanan dokumen, intimidasi dan ancaman, penyalahgunaan kerentanan, kekerasan fisik dan seksual, serta pembatasan akses komunikasi.
 

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi (ketiga kiri) menyerahkan tiga ABK WNI korban penyanderaan di perairan Gabon serta satu pekerja migran Indonesia yang bebas dari hukuman mati di Arab Saudi, kepada pihak keluarga masing-masing di Jakarta, Kamis (30/7/2020). (Handout Kemlu RI)
 

Komitmen pemerintah

Pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama dan kedua menjadikan pelindungan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri sebagai prioritas utama. Misi itu diterjemahkan oleh Kementerian Luar Negeri, yang kembali dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, lewat sejumlah kebijakan pelindungan, di antaranya sistem pelaporan yang terpadu, pendampingan, dan pemulangan WNI yang terjebak di luar negeri.

“Diplomasi perlindungan masih akan jadi prioritas Politik Luar Negeri Indonesia dalam lima tahun ke depan,” kata Menlu Retno saat menyampaikan prioritas politik luar negeri Indonesia tahun lalu.

Ia menjelaskan Kementerian Luar Negeri akan memperluas basis data untuk portal peduli WNI selama periode 2019-2024.

“Jika lima tahun yang lalu, Kemlu telah membuat portal Peduli WNI dan mengintegrasikan data WNI dengan SIAK Dukcapil Kemendagri, SIMKIM Ditjen Imigrasi, SISKO-TKLN BNP2TKI, maka dalam lima tahun ke depan, pengintegrasian akan juga dilakukan dengan lebih banyak kementerian/lembaga, contohnya SIMKAH Kemenag dan SAKE Ditjen AHU, Kemenkumham,” terang Retno.

Upaya melengkapi basis data untuk melindungi WNI di luar negeri juga menjadi rencana Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, khususnya terkait integrasi data kependudukan dan dokumen pelaut.

Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenko Maritim dan Investasi, Basilio Dias Araujo pada sesi diskusi virtual 30 Juli 2020, mengatakan integrasi data jadi salah satu cara untuk melacak keberadaan WNI di luar negeri, khususnya para pelaut dan ABK Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing.

Basilio menyebut masing-masing kementerian memiliki metode pelaporan dan identifikasi tersendiri untuk mencatat WNI di luar negeri. Oleh karena itu, Kemenko Maritim berupaya memadukan data dari sejumlah kementerian dan lembaga, di antaranya Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Kementerian Perhubungan (Kemhub), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham).

“Kemlu untuk data laporan dan penanganan kasus awak kapal di luar negeri, Kemendagri untuk data kependudukan, BP2MI pendataan calon pekerja migran Indonesia lewat sistem komputerisasi tenaga kerja luar negeri (SISKOTKLN), Kemhub data pelaut (seafarer identity document), Kemkumham data ijazah dan paspor,” kata Basilio saat menerangkan paparannya saat seminar.

Di tengah upaya itu, para pelaut dan ABK Indonesia dapat memanfaatkan sistem penerimaan aduan lewat laman dan aplikasi Safe Travel yang dikembangkan Kementerian Luar Negeri atau sistem aduan khusus ABK di laman Kementerian Koordinator Maritim.

“Formulir aduan itu langsung pop-up (terbuka) saat membuka laman Kementerian Koordinator Maritim. Formulir ini dibuat dengan standar IMO (Organisasi Maritim Internasional) dan ILO (Organisasi Buruh Internasional). Jika aduan masuk, langsung bisa diteruskan ke sistem IMO dan ILO,” kata Basilio.


 

Petugas gabungan mengevakuasi jenazah ABK kapal ikan berbendera China yang berkewarganegaraan Indonesia di Dermaga Lanal Batam, Kepulauan Riau, Rabu (8/7/2020). ANTARA FOTO/M N Kanwa/foc.


Butuh langkah konkret

Namun penyatuan data membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Tidak hanya itu, penyusunan Rencana Aksi Nasional Pelindungan Awak Kapal 2020-2024, yang diinisiasi oleh Kemenko Maritim, juga masih belum rampung sampai tahun pertama pemerintahan Jokowi. Sementara itu, aduan dan laporan dugaan eksploitasi terhadap ABK Indonesia di luar negeri masih dapat ditemukan, khususnya di forum-forum media sosial.

Jika melihat kembali laporan yang dibuat SBMI selama satu tahun terakhir, banyak aduan datang dari kapal-kapal penangkap ikan berbendera China, kemudian disusul oleh Taiwan, Vanuatu, dan yang terakhir kali Italia.

Oleh karena itu, lewat laporan yang dibuat SBMI bersama Greenpeace Indonesia, keduanya mendesak agar Pemerintah Indonesia bersikap lebih tegas kepada kapal-kapal berbendera asing yang diduga melakukan eksploitasi terhadap para ABK Indonesia.

“Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk bersikap lebih tegas kepada seluruh negara bendera kapal ikan yang mempekerjakan ABK asal Indonesia, di antaranya untuk melaksanakan pelacakan dan pendataan keberadaan ABK asal Indonesia dan inspeksi kapal perikanan jarak jauh secara global,” demikian salah satu isi rekomendasi dari dua organisasi masyarakat sipil tersebut.

Terkait urusan itu, Pemerintah Indonesia telah mengajak Pemerintah China membentuk kerja sama bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance) demi mencegah dan menindak para pelaku eksploitasi atau TPPO terhadap ABK Indonesia di kapal-kapal China.

“Saya menekankan bahwa isu (ABK, red) ini bukan merupakan isu antara swasta. Namun, pemerintah juga harus terlibat untuk memastikan pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan ini tidak terjadi di masa mendatang,” kata Menlu Retno saat jumpa pers virtual 20 Agustus 2020.

Menurut Retno, adanya kerja sama itu dapat memudahkan aparat penegak hukum dari dua negara untuk menyelidiki dugaan pidana pada kasus-kasus ABK Indonesia di kapal China, khususnya terkait upaya menghadirkan saksi dari dua negara.

Sejauh ini, kerja sama itu memang belum rampung. Namun, banyak ABK Indonesia yang telah menggantungkan harapannya pada kepastian hukum serta kebijakan pelindungan konkret yang berdampak nyata bagi keselamatan mereka saat bekerja di luar negeri. Pasalnya, kompensasi puluhan juta jadi tidak lagi punya makna jika masih ada ABK Indonesia yang meninggal tak wajar di luar negeri.

Baca juga: Kemlu bantu pemenuhan hak dua ABK Indonesia yang dilarung ke laut

Baca juga: Polda Kepulauan Riau tahan dua tersangka perdagangan orang kapal China

Baca juga: ABK WNI tewas, Indonesia minta China hadirkan warganya sebagai saksi


Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2020