Kami mengetahui isi artikel itu dan saat ini masih diulas oleh para ahli kami
Jenewa/Chicago (ANTARA) - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengulas laporan penelitian terbaru yang menunjukkan bukti virus corona jenis baru (SARS-CoV-2), penyebab COVID-19, dapat menular lewat udara.

Setelah hasil penelitian itu terbit, lebih dari 200 ilmuwan mengirim surat ke WHO meminta lembaga itu segera memperbarui protokol kesehatan untuk mencegah COVID-19.

WHO mengatakan SARS-CoV-2 menular via cairan pernapasan dari hidung dan mulut orang yang terjangkit. Tetesan cairan itu juga cepat jatuh ke tanah.

Namun, lewat surat terbuka yang dikirim ke WHO, Senin (6/7), dalam jurnal "Clinical Infectious Diseases", 239 peneliti dari 32 negara menggarisbawahi bukti bahwa virus yang melayang di partikel udara dapat menyerang orang saat bernapas.

Oleh karena itu, peneliti mendesak WHO memperbarui panduan kesehatannya.

"Kami mengetahui isi artikel itu dan saat ini masih diulas oleh para ahli kami," kata juru bicara WHO, Tarik Jasarevic, Senin, lewat surat elektronik.

Sejauh ini belum jelas seberapa besar kemungkinan COVID-19 dapat menular via udara.

Jika WHO mengubah penilaian risikonya, maka itu akan mengubah anjuran jaga jarak sepanjang satu meter (3,3 kaki). Otoritas di banyak negara yang bergantung pada anjuran WHO kemungkinan akan mengubah kebijakannya demi menekan penyebaran COVID-19.

Meskipun WHO sempat mempertimbangkan kemungkinan penularan via udara, lembaga itu belum yakin dengan bukti yang tersedia.

Ahli penyakit menular dari University of Minnesota, Dr Michael Osterholm mengatakan WHO enggan mengakui penularan virus influenza via udara, meskipun "ada data kuat". Kontroversi itu pun menuai debat di kalangan para ahli.

"Saya pikir tingkat frustasinya cukup tinggi mengingat udara juga berperan menularkan penyakit seperti influenza dan SARS-CoV-2," kata Osterholm.

Sementara itu, Profesor Babak Javid, seorang konsultan penyakit menular dari Rumah Sakit Cambridge University, mengatakan penularan virus via udara mungkin terjadi, tetapi bukti yang menunjukkan seberapa lama virus bertahan di udara masih kurang.

Jika virus dapat bertahan lama di udara, bahkan setelah orang yang terjangkit penyakit meninggalkan ruangan tertentu, temuan itu akan berdampak pada langkah yang harus diambil para tenaga kesehatan dan pihak lain untuk melindungi dirinya.

Panduan kesehatan yang dirilis WHO untuk tenaga kesehatan pada 29 Juni menyebutkan SARS-CoV-2 umumnya menular via cairan pernapasan dan di permukaan barang.

Namun, penularan virus via udara di beberapa situasi mungkin terjadi, misalnya saat pemasangan alat bantu pernapasan (intubasi) dan prosedur lainnya yang menyebabkan adanya aliran udara, kata WHO. Lembaga kesehatan dunia pun menganjurkan para tenaga kesehatan mengenakan masker N95 dan alat pelindung diri lainnya saat menjalankan prosedur demikian. WHO juga menyarankan prosedur itu dilakukan di ruangan dengan ventilasi yang baik.

Seorang epidemiolog dari Harvard T.H. Chan School of Public Health, Dr William Hanage, mengatakan laporan yang masih dievaluasi WHO itu "memuat banyak keterangan masuk akal terkait bukti bahwa penularan (via udara, red) itu mungkin terjadi, dan temuan itu perlu ditanggapi serius".

Namun masih belum jelas seberapa sering transmisi via udara itu terjadi.

"Jika penularan via udara itu dimungkinkan, tetapi masih jarang terjadi, maka menghapus (kemungkinan, red) itu tidak akan berdampak besar (pada pengendalian wabah, red)," kata dia lewat surat elektronik.

Sejumlah pejabat pada Pusat Pengendalian Penyakit Korea Selatan pada Senin (6/7) mengatakan mereka masih membahas sejumlah isu terkait COVID-19, termasuk di antaranya kemungkinan penularan dari udara. Pihak tersebut menjelaskan mereka masih perlu melakukan penyelidikan dan melihat bukti lain.

Sumber: Reuters

Baca juga: Hampir 700.000 kasus, India negara ketiga paling terpukul corona

Baca juga: Ada temuan virus, Kementan tegaskan tidak impor babi dari China

Penerjemah: Genta Tenri Mawangi
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2020