Jakarta (ANTARA) - Gelaran pembuka kepemimpinan Vietnam di Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara, ASEAN, 2020 digelar di kota Nha Trang pada 16-17 Januari lewat pertemuan para menteri luar negeri negara anggota.

Dalam acara bertajuk ASEAN Foreign Ministers' Retreat (AMM) itu, Indonesia, melalui Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyatakan dukungan penuh bagi Vietnam untuk menjalankan keketuaannya selama satu tahun mendatang.

Belum lama sebelum itu, Ade Padmo Sarwono selaku perwakilan tetap Indonesia untuk ASEAN secara lebih rinci menyampaikan beberapa poin harapan terhadap Vietnam.

Satu di antaranya adalah mendorong lebih banyak pertemuan dilakukan di Jakarta, kota yang menaungi Sekretariat ASEAN, terlebih setelah pertengahan tahun lalu Presiden RI Joko Widodo meresmikan gedung baru ASEAN dengan aula besar dan ruang-ruang khusus pertemuan.

Barangkali belum bisa diharapkan sampai pertemuan setingkat menteri, hanya saja setidaknya dapat dicoba untuk pertemuan kelompok kerja atau kelompok dukungan.

"Harapannya bukan cuma soal Indonesia yang akan mendapat keuntungan dari itu, namun lebih pada koordinasi yang lebih terjalin," kata Ade dalam sebuah sesi diskusi di The Habibie Center, Desember 2019.

Usulan itu terdengar masuk akal, mengingat untuk keketuaannya kali ini Vietnam mengangkat tema "Kohesif dan Responsif", yang tentu tidak bisa dimulai sebelum ada jalinan koordinasi yang kuat.

Dalam penjelasan yang disampaikan Ade, lima elemen menjadi bagian dari ASEAN yang kohesif, yakni persatuan dan solidaritas, integrasi dan konektivitas, komunalitas dan kesadaran bersama, keterikatan dengan komunitas global, juga kapasitas internal.

Sementara ASEAN yang responsif setidaknya diejawantahkan dengan sikap proaktif, kreatif, siap menghadapi tantangan industri 4.0, dan tak ketinggalan aktif menjalankan pembangunan berkelanjutan.

Aleksius Jemadu, pakar bidang hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan, memberikan setidaknya tiga poin analisis mengenai narasi politik di balik tema yang diusung oleh Vietnam.

Pertama, kohesi diperlukan untuk memperkuat strategi besar Vietnam dalam mengimbangi China dengan dominasinya di bidang ekonomi kawasan Asia Tenggara. Kedua, ASEAN yang kohesif dipercaya bisa meningkatkan posisi tawar negara itu pada negosiasi terkait Laut China Selatan.

Ketiga, Vietnam berupaya untuk mereproduksi kesuksesan ekonomi dalam negerinya di tingkat kawasan, yang kemudian akan memperkuat legitimasi rezim politik di dalam dan luar negeri.

"Mereka butuh semacam pengakuan eksternal, mencari eksistensi untuk kesuksesan ekonomi dan bahwa sistem yang dijalankan berhasil dengan baik, berguna bagi rakyat, juga membuat mereka percaya diri dengan hal itu," ujar Aleksius.

Bagaimanapun, Vietnam diyakini mempunyai sejumlah modal yang cukup untuk dapat mengetuai komunitas kawasan di bawah kerangka "Kohesif dan Responsif" tadi, misalnya daya saing negara itu dalam bidang ekonomi.

Untuk hal itu, Aleksius mencatat beberapa momentum ekonomi yang dimiliki Vietnam, antara lain soal capaian pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu paling tinggi di antara negara-negara ASEAN.

Pada 2018, nilai pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Vietnam mencapai 7,1 persen ketika nilai rata-rata untuk ASEAN berada pada 5,1 persen, menurut data mutakhir Bank pembangunan Asia yang dirilis September 2019. Kemudian pada 2019 sendiri nilainya relatif masih tinggi, yakni 6,8 persen, sementara rata-rata hanya 4,5 persen.

Aspek ekonomi yang jadi kekuatan Vietnam lainnya, termasuk pertumbuhan kapasitas untuk bersaing secara regional dan global serta investasi asing langsung yang terus meningkat.

Di luar itu, masih menjadi catatan dan pertanyaan apakah Vietnam mau dan mampu memberikan perhatian terhadap isu-isu kemanusiaan dan demokrasi tanpa berlindung, atau sebaliknya, menggunakan tameng prinsip non-intervensi.

Aleksius sendiri berpendapat, "Kedaulatan dalam mengurusi masalah HAM dan demokrasi domestik nampaknya masih menjadi sikap normatif standar masing-masing negara ASEAN."

Konflik etnis Rohingya di Myanmar dan perselisihan antara pemerintah dengan oposisi di Kamboja adalah dua masalah HAM dan demokrasi yang menjadi sorotan di kawasan ini.

Pakar bidang hubungan internasional lainnya dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menyebut isu HAM dan demokrasi memang menjadi celah kekurangan yang dimiliki Vietnam.

Menurut dia, bagaimana pemberitaan dunia mengkritik Vietnam lebih banyak ditujukan pada urusan kemanusiaan, seperti kurangnya kebebasan berkumpul atau beragama.

"Tapi cobalah mengerti bahwa Vietnam sedang ada dalam situasi transisi yang rasanya sulit menginduk langsung pada demokrasi Barat yang serba terbuka. Mereka telah melihat contoh-contoh negara terlalu terbuka, hingga akhirnya memilih jalan tengah," kata Rezasyah.

Sebetulnya tradisi sosialisme yang masih dianut Vietnam, berupa pemerintahan yang solid dan masyarakat yang taat juga menjadi modal tersendiri bagi Vietnam.

Dan bicara soal pemerintahan, Rezasyah juga menyoroti aspek ketokohan pemimpin Vietnam untuk menjadi pemimpin komunitas regional ini.

Menurut dia, Vietnam adalah negara yang bisa tampil penuh percaya diri, salah satunya karena kepemimpinan nasional yang sudah stabil.

Namun tidak berarti kestabilan kepemimpinan di dalam negeri otomatis menghasilkan kestabilan kepemimpinan di dalam kawasan, seperti disebut Rezasyah, "Kekurangan ASEAN adalah belum mempunyai pemimpin karismatik."

Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc sebetulnya dianggap telah mempunyai modal untuk menjadi sosok pemimpin ASEAN. Latar belakang pendidikan di bidang ekonomi serta latar belakang perjuangan hidup Phuc adalah dua di antara banyak modal yang dimiliki.

Dengan modal itu, lanjut Rezasyah, Phuc diharapkan bisa mengupayakan ketokohannya yakni dengan rajin-rajin menyampaikan inisiatif untuk ASEAN dan juga proaktif menjadi komunikator untuk hubungan kerja sama ASEAN dengan rekan di luar kawasan.

"Dia harus banyak memperkenalkan dirinya di berbagai forum ASEAN, membuka diri untuk berbicara dengan publik," kata Rezasyah.

Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2020