Purwokerto (ANTARA) - Akademikus Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Dr Sukarso menilai Koperasi Desa (KopDes) Merah Putih merupakan komitmen pemerintah untuk memperkuat ekonomi desa.
Saat dihubungi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Minggu, dia mengakui jika sebelumnya telah ada koperasi unit desa (KUD) yang tumbuh dan berkembang di desa-desa.
"Koperasi unit desa sebenarnya dulu sudah melembaga, artinya sudah dianggap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, tetapi kemudian tidak dirawat sehingga sedikit demi sedikit hilang dengan adanya individualistik atau usaha-usaha individu yang lebih dominan," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, KopDes Merah Putih yang akan segera diluncurkan pemerintah dapat dikatakan seperti memanggil kembali semangat KUD dalam rangka memperkuat ekonomi desa.
Akan tetapi jika untuk memanggil kembali semangat KUD, lanjut dia, hal itu sangat diragukan karena ada perubahan sosial yang signifikan antara zaman dulu dan sekarang.
"Jadi, kayak lembaga-lembaga adat yang mau direvitalisasi, recalling, dipanggil kembali, enggak mungkin karena sudah berubah secara sosial itu. Masyarakat kita di desa itu individualistiknya sudah kuat, sehingga kalau mau komitmen membangun koperasi ya ide-ide koperasi itu supaya melembaga dululah, jadi jangan model, tetapi mungkin lebih ke regulasi," katanya.
Ia mengatakan, model penting, tetapi regulasi lebih penting sehingga ada mekanisme ekonomi di desa yang ujungnya di koperasi, bukan lagi kios-kios dagang usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang individual.
Menurut dia, saat sekarang yang dominan berupa usaha individual karena roh dari UMKM sebenarnya adalah individual.
"Kalau koperasi beda lagi. Jadi, semangat koperasi unit desa itu sebenarnya dulu sempat melembaga tetapi tidak dirawat, sehingga berangsur-angsur enggak kuat lagi, anak-anak sekarang mungkin tidak mengenal lagi KUD yang zaman dulu populer," katanya.
Lebih lanjut, dia menyoroti pinjaman yang diberikan pemerintah sebagai modal awal bagi KopDes Merah Putih dengan plafon hingga Rp3 miliar per koperasi dan harus dikembalikan dalam enam tahun.
Menurut dia, hal itu berarti pemerintah melihat koperasi seperti melihat sektor usaha yang lain, sehingga tidak ada kekhususan.
"Jadi, ini butuh modal, sehingga dikasih modal, hanya sebatas itu ya, tidak semacam program-program yang mengatur supaya nilai-nilai koperasi itu kembali mengakar di masyarakat," katanya.
Menurut dia, pemerintah sebenarnya ingin menghidupkan kembali semangat koperasi tetapi langsung direcoki dengan semangat renten, sehingga tidak menutup kemungkinan akan ada yang diuntungkan dari alokasi pinjaman modal tersebut.
Selain itu, kata dia, koperasi menjadi kapitalistik karena seolah kekurangan dana atau modal.
"Padahal yang saya yakini selama ini koperasi sudah menjadi roh bagi kerja sama ekonomi masyarakat, saka guru ekonomi Indonesia adalah koperasi. Itu yang harus diterjemahkan, ditingkatkan komitmennya terhadap hal itu," katanya.
Bahkan, kata dia, koperasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 dianggap sebagai saka guru perekonomian Indonesia dan hal itu merupakan kesadaran moral dari para pendiri bangsa.
"Kami dari kalangan akademisi melihat, jangan semuanya itu dilihat dari sudut pandang ekonomi bahwa menghidupkan koperasi itu hanya perlu modal, bukan. Itu kesadaran orang untuk gotong royong, untuk bekerja sama, itu rohnya koperasi, jadi itu yang perlu dibuat regulasi, sehingga tumbuh rasa kebersamaan itu yang lebih penting, nanti modal akan datang dengan sendirinya," kata Sukarso.