Catatan sejarah bisa jadi inspirasi untuk membangun daerah pada masa kini
Semarang (ANTARA) - Kejayaan kerajaan Nusantara di masa lalu, bisa dijadikan inspirasi untuk mengeksplorasi seluruh potensi daerah dalam rangka membangun masa depan yang lebih baik.
"Banten adalah salah satu kerajaan penting di Jawa pada abad XVII. Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1692) adalah pemimpin Kesultanan Banten sekaligus pahlawan nasional," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat menjadi pembicara kunci secara virtual dalam Seminar Kebangsaan bertema Budaya dan Politik di Banten: Refleksi Sejarah dan Eksplorasi Potensi untuk Masa Depan, Sabtu (3/10).
Catatan kesuksesan Kerajaan Banten katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Semarang, Minggu, harus menjadi pendorong masyarakat setempat untuk membangun wilayahnya.
Hadir dalam seminar tersebut, Prof. Lili Romli (Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI), Dr. Neng Dara Affiah (Sosiolog Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah), Drs. Sonny C. Wibisono (Peneliti pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) dan Tubagus Amri Wardhana Al-Famakhir, SH, MH (Zurriyat Kesultanan Banten/Ketua II DPP MAKN) sebagai narasumber.
Seminar yang dibuka Ketua DPP Perkumpulan Seni Budaya (PSB) Banten yang juga anggota DPRD Kabupaten Pandeglang, Banten, Yangto, SH, MH itu dimoderatori Luthfi Asysyaukani (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI).
Menurut Lestari, di masa jayanya Raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa membangun armada laut, memiliki angkatan perang, mendirikan pusat budaya dan ilmu pengetahuan.
Bahkan, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, di masa lalu Banten sudah memiliki teknologi untuk menghasilkan air bersih. Menurut Rerie, kepedulian Sultan Ageng Tirtayasa terhadap lingkungan bisa dilihat pada teknologi ini.
Kondisi sebaliknya, jelas Rerie, terjadi pada Banten saat ini antara lain mencatat indeks demokrasi dan toleransi yang masih di bawah rata-rata indeks nasional. "Padahal di masa lalu Kerajaan Banten cukup terbuka terhadap budaya dan pemikiran dari bangsa-bangsa lain," ujarnya.
Bila konsisten melaksanakan nilai-nilai empat konsensus kebangsaan Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika, menurut Rerie, masyarakat Banten mampu memperbaiki sejumlah pencapaian daerah yang masih di bawah rata-rata nasional.
Rerie meyakini, kehadiran Perkumpulan Seni Budaya (PSB) Banten bisa mendorong masyarakat Banten untuk mengejar ketertinggalan di bidang demokratisasi dan toleransi di wilayah Banten, termasuk masalah budaya.
Peneliti pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Sonny C. Wibisono memperkuat pernyataan Rerie. Menurut Sonny, Banten di masa lalu adalah tempat kapal lego jangkar dan tempat berdagang.
"Di Pelabuhan Banten para pedagang lokal melakukan jual beli dengan pedagang dari Maladewa dan tanah Sumatera. Daerah Banten ini di masa lalu sangat terbuka, terhadap pendatang," ujar Sonny.
Sosiolog Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Neng Dara Affiah berpendapat melihat Banten saat ini jangan melihat kawasan BSD dan Tangerang Selatan saja, tetapi lihatlah Kabupaten Lebak dan Pandeglang yang pembangunan fisik dan nonfisiknya relatif tertinggal.
Saat ini, jelas Neng Dara, masyarakat dan pemerintah Banten sedang 'tertidur'. "Bila tidak segera 'bangun', orang di luar Banten yang akan membangunkan," tegas Neng Dara mengibaratkan tertinggalnya pembangunan di sebagian besar wilayah Banten.
Berdasarkan kondisi saat ini, Neng Dara menilai, pengembangan sektor pertanian dan pariwisata bisa menjadi motor penggerak bagi kabupaten-kabupaten di Provinsi Banten yang masih tertinggal.
"Mengingat alam Banten sangat indah, tentu saja membutuhkan komitmen pemerintah dan masyarakat Banten untuk tetap menjaga dan merawat keindahan alam itu jika ingin mengambil manfaat dari pariwisata," pungkasnya.***
"Banten adalah salah satu kerajaan penting di Jawa pada abad XVII. Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1692) adalah pemimpin Kesultanan Banten sekaligus pahlawan nasional," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat menjadi pembicara kunci secara virtual dalam Seminar Kebangsaan bertema Budaya dan Politik di Banten: Refleksi Sejarah dan Eksplorasi Potensi untuk Masa Depan, Sabtu (3/10).
Catatan kesuksesan Kerajaan Banten katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Semarang, Minggu, harus menjadi pendorong masyarakat setempat untuk membangun wilayahnya.
Hadir dalam seminar tersebut, Prof. Lili Romli (Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI), Dr. Neng Dara Affiah (Sosiolog Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah), Drs. Sonny C. Wibisono (Peneliti pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) dan Tubagus Amri Wardhana Al-Famakhir, SH, MH (Zurriyat Kesultanan Banten/Ketua II DPP MAKN) sebagai narasumber.
Seminar yang dibuka Ketua DPP Perkumpulan Seni Budaya (PSB) Banten yang juga anggota DPRD Kabupaten Pandeglang, Banten, Yangto, SH, MH itu dimoderatori Luthfi Asysyaukani (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI).
Menurut Lestari, di masa jayanya Raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa membangun armada laut, memiliki angkatan perang, mendirikan pusat budaya dan ilmu pengetahuan.
Bahkan, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, di masa lalu Banten sudah memiliki teknologi untuk menghasilkan air bersih. Menurut Rerie, kepedulian Sultan Ageng Tirtayasa terhadap lingkungan bisa dilihat pada teknologi ini.
Kondisi sebaliknya, jelas Rerie, terjadi pada Banten saat ini antara lain mencatat indeks demokrasi dan toleransi yang masih di bawah rata-rata indeks nasional. "Padahal di masa lalu Kerajaan Banten cukup terbuka terhadap budaya dan pemikiran dari bangsa-bangsa lain," ujarnya.
Bila konsisten melaksanakan nilai-nilai empat konsensus kebangsaan Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika, menurut Rerie, masyarakat Banten mampu memperbaiki sejumlah pencapaian daerah yang masih di bawah rata-rata nasional.
Rerie meyakini, kehadiran Perkumpulan Seni Budaya (PSB) Banten bisa mendorong masyarakat Banten untuk mengejar ketertinggalan di bidang demokratisasi dan toleransi di wilayah Banten, termasuk masalah budaya.
Peneliti pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Sonny C. Wibisono memperkuat pernyataan Rerie. Menurut Sonny, Banten di masa lalu adalah tempat kapal lego jangkar dan tempat berdagang.
"Di Pelabuhan Banten para pedagang lokal melakukan jual beli dengan pedagang dari Maladewa dan tanah Sumatera. Daerah Banten ini di masa lalu sangat terbuka, terhadap pendatang," ujar Sonny.
Sosiolog Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Neng Dara Affiah berpendapat melihat Banten saat ini jangan melihat kawasan BSD dan Tangerang Selatan saja, tetapi lihatlah Kabupaten Lebak dan Pandeglang yang pembangunan fisik dan nonfisiknya relatif tertinggal.
Saat ini, jelas Neng Dara, masyarakat dan pemerintah Banten sedang 'tertidur'. "Bila tidak segera 'bangun', orang di luar Banten yang akan membangunkan," tegas Neng Dara mengibaratkan tertinggalnya pembangunan di sebagian besar wilayah Banten.
Berdasarkan kondisi saat ini, Neng Dara menilai, pengembangan sektor pertanian dan pariwisata bisa menjadi motor penggerak bagi kabupaten-kabupaten di Provinsi Banten yang masih tertinggal.
"Mengingat alam Banten sangat indah, tentu saja membutuhkan komitmen pemerintah dan masyarakat Banten untuk tetap menjaga dan merawat keindahan alam itu jika ingin mengambil manfaat dari pariwisata," pungkasnya.***