Purwokerto (ANTARA) - Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Hibnu Nugroho menilai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 masih kurang lengkap karena belum mengatur masalah suap dan gratifikasi.
"Perma itu (Perma Nomor 1 Tahun 2020, red.) bagus untuk memberikan suatu pemidaan yang proporsional sehingga tidak mengurangi disparitas penjatuhan pidana. Tapi ingat, justru yang menjadi masalah itu, atau kebanyakan tindak pidana korupsi yang dilakukan itu kena suap dan gratifikasi," katanya saat dihubungi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Dalam hal ini, kata dia, Perma Nomor 1 Tahun 2020 dijadikan pedoman pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mengatur korupsi di atas Rp100 miliar dapat dipidana seumur hidup.
Baca juga: Pakar hukum: Pembentukan tim pemburu koruptor ide yang bagus
Oleh karena itu, kata dia, Perma tersebut bagus tetapi masih kurang lengkap karena justru yang paling banyak adalah kasus-kasus suap dan gratifikasi.
"Kalau kasus yang kena Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor, saya kira jaranglah. Itu kasus-kasus yang memang luar biasa," katanya.
Terkait dengan hal itu, Hibnu mengatakan bahwa perma tersebut sebaiknya dilengkapi dengan pedoman pemidanaan kasus-kasus suap dan gratifikasi karena paling banyak terjadi serta sering menimbulkan disparitas pidana.
Menurut dia, Mahkamah Agung sebaiknya melihat tindak pidana mana yang sebenarnya paling banyak menimbulkan disparitas hukuman.
"Dengan demikian, itu betul-betul implementatif di lapangan. Kalau yang Pasal 2 atau Pasal 3 bisa dihitung dengan jari karena dari sekian banyak kasus korupsi yang terjadi, sekitar 70 persennya adalah suap dan gratifikasi," katanya menjelaskan.
Menurut dia, seharusnya ada suatu penelitian atau identifikasi terkait dengan pasal mana yang sering terjadi dalam kasus korupsi.
"Ketentuan pasal mana yang dijatuhkan dalam suatu perbuatan korupsi. 'Kan ada beberapa jenis tindak pidana korupsi, ada penyalahgunaan jabatan, penyalahgunaan kewenangan, ada pemerasan, ada gratifikasi, ada suap. Itu yang paling banyak yang mana," katanya.
Baca juga: Pakar hukum nilai kinerja Polri alami peningkatan ke arah lebih baik
Ia menyebutkan dari sekian banyak jenis tindak pidana korupsi, kasus suap dan gratifikasi yang paling banyak terjadi sehingga perlu dibuatkan pedoman pemidanaannya agar tidak terjadi disparitas hukuman.
Seperti diwartakan ANTARA, Mahkamah Agung menetapkan peraturan pedoman pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur korupsi di atas Rp100 miliar dapat dipidana seumur hidup.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 itu dikutip Minggu, hakim harus mempertimbangkan kategori kerugian keuangan negara; tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan; rentang penjatuhan pidana; keadaan yang memberatkan atau meringankan; penjatuhan pidana serta ketentuan lain yang berkaitan dengan penjatuhan pidana.
Berkaitan dengan kategori keuangan, dalam mengadili perkara Pasal 2 UU Tipikor, kategori terbagi menjadi empat, yakni paling berat lebih dari Rp100 miliar, berat lebih dari Rp25 miliar sampai Rp100 miliar, sedang lebih dari Rp1 miliar sampai Rp25 miliar, dan ringan Rp200 juta sampai Rp1miliar.
Dalam mengadili Pasal 3, kategori kerugian keuangan negara terbagi menjadi lima, yakni paling berat lebih dari Rp100 miliar, berat lebih dari Rp25 miliar sampai Rp100 miliar, sedang lebih dari Rp1 miliar sampai Rp25 miliar, ringan Rp200 juta sampai Rp1miliar, dan paling ringan sampai Rp200 juta.
Untuk kategori paling berat dengan kesalahan, dampak dan keuntungan tinggi, penjatuhan pidana adalah 16—20 tahun/seumur hidup dan denda Rp800 juta—Rp1 miliar. Apabila kategori paling berat dengan kesalahan, dampak dan keuntungan sedang hukumannya adalah 13—16 tahun dan denda Rp650 juta—Rp800 juta.
Selanjutnya, kategori paling berat dengan kesalahan, dampak dan keuntungan ringan hukumannya adalah 10—13 tahun dan denda Rp500 juta—Rp650 juta.
Seterusnya hingga kategori paling ringan dengan kesalahan, dampak dan keuntungan ringan hukumannya adalah penjara 1—2 tahun dan denda Rp50 juta—Rp100 juta.
Peraturan itu ditetapkan dengan pertimbangan penjatuhan pidana harus memberikan kepastian dan proporsionalitas pemidanaan serta menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa.
Ketua Mahkamah Agung meneken peraturan tersebut pada tanggal 8 Juli 2020 dan resmi diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 24 Juli 2020.
Baca juga: Pakar: Perlu koordinasi dalam menangani napi program asimilasi
Berita Terkait
Pakar pastikan kemasan produk AMDK aman
Sabtu, 30 Maret 2024 17:41 Wib
Pakar : Lembaga Perlindungan Data Pribadi perlu segera dibentuk
Selasa, 12 Maret 2024 10:50 Wib
Pakar kebijakan publik apresiasi wacana KUA layani semua agama
Rabu, 28 Februari 2024 13:40 Wib
Pakar: Kebijakan impor beras wujud upaya pemerintah kendalikan harga
Senin, 26 Februari 2024 21:42 Wib
Pakar: Hari Kehakiman momentum MA menengok kembali hukum lokal
Jumat, 23 Februari 2024 8:41 Wib
Pakar: Putusan hakim harus berpihak pada kebenaran
Jumat, 23 Februari 2024 8:39 Wib
Fakultas Ilmu Kesehatan UMP dalami peran bidan dalam pencegahan penyakit ginjal
Sabtu, 17 Februari 2024 14:25 Wib
Pakar beri tip kepada KPU atasi serangan DDoS
Kamis, 15 Februari 2024 13:35 Wib