Unnes kumpulkan pakar asing bahas dinamika hukum
Semarang (Antaranews Jateng) - Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang mengumpulkan setidaknya para pakar hukum dari berbagai negara untuk membahas perkembangan hukum yang kian dinamis.
"Hukum ini kan bersifat dinamis seiring dinamika kehidupan masyarakat," kata Dekan FH Unnes Dr Rodiyah di sela "International Conference on Indonesian Legal Studies (ICILS)" 2018 di Semarang, Rabu.
Konferensi internasional kajian hukum Indonesia yang diprakarsai FH Unnes itu menghadirkan pembicara dari berbagai negara, di antaranya tujuh pakar hukum sebagai "keynote speaker".
Tujuh pakar hukum itu, yakni Prof Reid Mortensen dan Dr Vanitha Sundra Karean dari Universitas Southern Queensland Australia, Prof Abdul Samat Musa dari Universitas Sains Islam Malaysia.
Kemudian, Prof Yokishi Kurusawa (Universitas Waseda Jepang), Prof Sumanto Al Qurtuby (Universitas King Fahd, Arab Saudi), Dr Hajah Mas Nooraini (Universitas Islam Sultan Sharif Ali, Brunei Darussalam) dan Dani Muhtada (Unnes).
Menurut Rodiyah, masing-masing pakar hukum akan menyampaikan materi sesuai bidangnya, seperti Prof Yokishi tentang hukum pertanahan, Dr Hajah Nooraini tentang hukum wakaf, dan sebagainya.
Latar belakang konferensi internasional hukum itu, diakuinya, mendasarkan dua aspek penting, pertama untuk perkembangan pendidikan tinggi hukuk di Indonesia yang selama ini cenderung bersifat teoritis.
Bentuk hukum di aras global, kata dia, sangat memengaruhi perkembangan hukum di Indonesia sehingga diharapkan mahasiswa hukum tidak hanya belajar mengenai hukum secara teoritis.
Bahkan, kata Rodiyah, hukum di era global dituntut untuk segera menyelesaikan persoalan masyarakat sehingga harus bersifat dinamis, progresif, dan teguh dengan moral serta keadilan.
"Kedua, hukum yang ada dalam sistem pemerintahan, khususnya hukum tata negara yang dekat dengan kekuasaan. Pembentukan hukum akhirnya lebih pada kepentingan rezim yang berkuasa," katanya.
Untuk mengantisipasinya, kata dia, para penegak hukum, pakar hukum, dan akademisi harus saling bersinergi dalam satu visi atau perspektif bahwa hukum untuk kepentingan keadilan masyarakat.
Dari konferensi itu, diakuinya, akan banyak sekali masukan yang didapatkan dari para pakar mengenai hukum di negaranya masing-masing untuk perkembangan hukum yang diterapkan di Indonesia.
?"Sebagai contoh, empat negara yang hadir, yakni Arab Saudi, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia yang hukumnya sama-sama dipengaruhi oleh Islam, namun karakternya berbeda," katanya.
"Hukum ini kan bersifat dinamis seiring dinamika kehidupan masyarakat," kata Dekan FH Unnes Dr Rodiyah di sela "International Conference on Indonesian Legal Studies (ICILS)" 2018 di Semarang, Rabu.
Konferensi internasional kajian hukum Indonesia yang diprakarsai FH Unnes itu menghadirkan pembicara dari berbagai negara, di antaranya tujuh pakar hukum sebagai "keynote speaker".
Tujuh pakar hukum itu, yakni Prof Reid Mortensen dan Dr Vanitha Sundra Karean dari Universitas Southern Queensland Australia, Prof Abdul Samat Musa dari Universitas Sains Islam Malaysia.
Kemudian, Prof Yokishi Kurusawa (Universitas Waseda Jepang), Prof Sumanto Al Qurtuby (Universitas King Fahd, Arab Saudi), Dr Hajah Mas Nooraini (Universitas Islam Sultan Sharif Ali, Brunei Darussalam) dan Dani Muhtada (Unnes).
Menurut Rodiyah, masing-masing pakar hukum akan menyampaikan materi sesuai bidangnya, seperti Prof Yokishi tentang hukum pertanahan, Dr Hajah Nooraini tentang hukum wakaf, dan sebagainya.
Latar belakang konferensi internasional hukum itu, diakuinya, mendasarkan dua aspek penting, pertama untuk perkembangan pendidikan tinggi hukuk di Indonesia yang selama ini cenderung bersifat teoritis.
Bentuk hukum di aras global, kata dia, sangat memengaruhi perkembangan hukum di Indonesia sehingga diharapkan mahasiswa hukum tidak hanya belajar mengenai hukum secara teoritis.
Bahkan, kata Rodiyah, hukum di era global dituntut untuk segera menyelesaikan persoalan masyarakat sehingga harus bersifat dinamis, progresif, dan teguh dengan moral serta keadilan.
"Kedua, hukum yang ada dalam sistem pemerintahan, khususnya hukum tata negara yang dekat dengan kekuasaan. Pembentukan hukum akhirnya lebih pada kepentingan rezim yang berkuasa," katanya.
Untuk mengantisipasinya, kata dia, para penegak hukum, pakar hukum, dan akademisi harus saling bersinergi dalam satu visi atau perspektif bahwa hukum untuk kepentingan keadilan masyarakat.
Dari konferensi itu, diakuinya, akan banyak sekali masukan yang didapatkan dari para pakar mengenai hukum di negaranya masing-masing untuk perkembangan hukum yang diterapkan di Indonesia.
?"Sebagai contoh, empat negara yang hadir, yakni Arab Saudi, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia yang hukumnya sama-sama dipengaruhi oleh Islam, namun karakternya berbeda," katanya.