Jakarta, ANTARA JATENG - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil
pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan
istrinya Itjih Nursalim dalam penyidikan kasus korupsi terkait pemberian
Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada BDNI yang merugikan keuangan negara
sampai Rp3,7 triliun.
"Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim diperiksa untuk tersangka SAT,"
kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin, merujuk pada
Syafruddin Arsyad Tumenggung.
Sjamsul adalah pemilik BDNI dan perusahaan ban PT Gajah Tunggal dan sudah lari keluar negeri.
Ia
terakhir kali diketahui berada di Singapura, di rumah duka Mount Vernon
Parlour, Singapura saat melayat pengusaha Liem Sioe Liong alias Sudono
Salim pada 18 Juni 2012.
Selain Sjamsul dan Itjih, KPK juga menjadwalkan pemeriksaan staf
khusus Wakil Presiden Farid Harianto dalam penyidikan perkara itu.
KPK
menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus korupsi terkait
pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.
SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002
tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah
menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak
menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada masa kepemimpinan Presiden Megawati, yang
juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri
Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN
Laksamana Sukardi.
Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI
dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari
jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar
dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban
Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham
atau pengendali BDNI pada 2004.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan
Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi
kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset
oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari
pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan
ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan
pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI
sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.
BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia
kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter
1998 di Indonesia berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF.
Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5
triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis
tersebut. Namun penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan
ketentuan sehingga negara dinyatakan merugi hingga sebesar Rp138,4
triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan.
Terkait dugaan penyimpangan dana tersebut, sejumlah debitur kemudian
diproses secara hukum oleh Kejaksaan Agung tapi Kejaksaan mengeluarkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan
dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN.