Jakarta, ANTARA JATENG - Jaksa eksekutor pada Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) melakukan eksekusi terhadap terpidana mantan Kepala Balai
Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Amran Hi
Mustary ke Lapas Klas 1 Sukamiskin Bandung, Jawa Barat.
"Hari ini dilakukan eksekusi oleh Jaksa eksekutor KPK terhadap Amran
Hi Mustary ke Lapas Sukamiskin untuk menjalani pidana penjara," kata
Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.
Sebelumnya, Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku
dan Maluku Utara Amran Hi Mustary divonis enam tahun penjara dan denda
Rp800 juta subsider empat bulan kurungan karena menerima Rp2,6 miliar,
Rp15,525 miliar dan 202.816 dolar Singapura.
Pemberian uang itu terkait dengan proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Hakim menyatakan terdakwa Amran Hi Mustary terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama
sebagaimana dalam dakwaan alternatif kesatu dan dakwaan kedua.
"Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa Amran Hi Mustary selama
enam tahun penjara ditambah denda Rp800 juta dengan ketentuan bila
tidak dibayar diganti pidana kurungan selama empat bulan" kata Ketua
Majelis Hakim Fashal Hendri di pengadilan tindak pidana korupsi
(Tipikor) Jakarta, Rabu (12/4).
Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK
yang meminta agar Amran divonis sembilan tahun ditambah denda Rp1
miliar.
Amran terbukti bersalah berdasarkan dua dakwaan yaitu pasal 12
huruf a dan pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55
ayat 1 ke-1 jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
Dalam dakwaan pertama, Amran bersama-sama dengan empat anggota
Komisi V DPR, yaitu Damayanti Wisnu Putranti (Fraksi PDI Perjuangan),
Budi Supriyanto (Fraksi Partai Golkar), Andi Taufan Tiro (Fraksi PAN)
dan Musa Zainuddin (Fraksi PKB) serta dua teman Damayanti, Dessy Ariyati
Edwin dan Julia Prasetyarini menerima uang Rp13,855 miliar dan
1.143.846 dolar Singapura dari lima orang pengusaha.
Tujuan penerimaan uang tersebut adalah agar Amran bersama-sama
dengan Damayanti, Budi, Andi Taufan dan Musa mengupayakan usulan
"program aspirasi" anggota Komisi V DPR agar dialokasikan untuk
pembangunan wilayah Maluku dan Maluku Utara. Nantinya proyek-proyek
tersebut dapat dikerjakan para pengusaha.
Para pengusaha tersebut adalah Dirut PT Windhu Tunggal Utama Abdul
Khoir, Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa So Kok Seng alias Aseng, Direktur
PT Shareleen Jaya Hong Arta John Alfred, Komisaris PT Papua Putra
Mandiri Henock Setiawan dan Direktur CV Putra Mandiri Charles Fransz.
Dalam dakwaan kedua, Amran selaku Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku
Utara bersama-sama Imran S Djumadil (rekan Amran, politisi PAN di
Maluku), Zulkhairi Muchtar alias Heri (rekan Amran dari swasta), Quraish
Lutfi (Kepala Satuan Kerja Wilayah I BPJN IX), Abdul Hamid Payapo
(pejabat pembuat komitmen Halmahera IV PJN Wilayah 2 Maluku Utara BPJN
IX).
Rincian pemberian uang tersebut adalah pertama untuk pemilihan
dirinya sebagai kepala BPJN IX, Kedua, penerimaan Rp1 miliar dari Abdul
Khoir untuk menutup kekurangan dana suksesi Amran sebagai Kepala BPJN IX
Kementerian PU dan Perumahan Rakyat.
Ketiga, penerimaan 202.816 dolar Singapura (Rp2 miliar) dari Abdul Khoir untuk uang Tunjangan Hari Raya (THR) Natal.
Keempat, penerimaan 303.124 dolar AS dan Rp873,285 juta yang
dikumpulkan Abdul Hamid Payapo dari para kontraktor. Kelima, penerimaan
Rp500 juta dari Abdul Khoir melalui Imran S Djumadil; keenam.
Total uang yang diterima oleh Amran adalah Rp6,625 miliar dan
202.816 dari Abdul Khoir, Rp3,6 miliar dari Hong Artha John ALfred,
Rp1,5 miliar dari Djonny Laos, Rp500 juta dari Rizal, Rp1 miliar dari
Budi Liem, Rp1,1 miliar dari Hasanuddin, Rp400 juta dari Anfiqurahman
dan Rp1,2 juta dari Hadiruddin.
Atas vonis itu, Amran menerimanya sedangkan Jaksa Penuntut Umum KPK menyatakan pikir-pikir.