Jepara (ANTARA) - Jaksa Pengacara Negara (JPN) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah menganjurkan warga menyelesaikan polemik terkait pembangunan Gardu Induk (GI) PLN di Desa Tunggulpandean, Kecamatan Nalumsari, Kabupaten Jepara, melalui pengadilan agar tercipta kepastian hukum terhadap proyek tersebut.
"Langkah ini penting agar ada kepastian hukum terkait pembangunan Gardu Induk PLN yang merupakan proyek strategis nasional (PSN)," kata JPN Kejati Jateng Ayu saat audiensi di Ruang Rapat Sosrokartono, Setda Jepara, Senin.
Audiensi tersebut dihadiri oleh jajaran Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara (Asdatun) Kejati Jateng, Kajari Jepara RA Dhini Ardhany, Bupati Jepara Witiarso Utomo, jajaran UPP JBT 4 PT PLN (Persero), perwakilan Pemdes Tunggulpandean, serta warga yang menolak pembangunan gardu induk tersebut.
Ayu menjelaskan pembangunan Gardu Induk PLN Tunggulpandean termasuk dalam kategori PSN yang seharusnya mendapat dukungan seluruh pihak. Namun demikian, apabila masih terdapat warga yang keberatan atas proses sosialisasi atau aspek hukum pembangunan tersebut, maka penyelesaiannya sebaiknya melalui mekanisme pengadilan.
"Kalau seperti ini nanti jadinya debat kusir, tidak akan selesai. Kalau warga menilai proses sosialisasi tidak sah, maka logikanya produk hukumnya seperti sertifikat lahan dari BPN Jepara juga bisa digugat secara perdata. Silakan tempuh jalur hukum, nanti biar diuji di pengadilan," ujarnya.
Ayu menambahkan melalui jalur hukum, majelis hakim yang akan memutuskan apakah keberatan warga dapat dikabulkan atau ditolak, sehingga tidak menimbulkan polemik berkepanjangan di masyarakat.
Sementara itu, sebagian warga Desa Tunggulpandean menolak pembangunan Gardu Induk PLN. Mereka menuding proses sosialisasi yang dilakukan PLN tidak transparan dan hanya melibatkan pemilik lahan terdampak. Selain itu, warga juga mempersoalkan penggunaan tanah aset desa untuk proyek tersebut melalui mekanisme ruislag (tukar guling).
Dalam audiensi, perwakilan warga bernama Teguh dan Siswanto menunjukkan dokumen undangan sosialisasi yang menurut mereka tidak sinkron antara tanggal dan waktu pelaksanaan.
"Undangan sosialisasi itu rancu. Selain itu, hanya pemilik lahan yang diundang, sementara warga lain yang rumahnya dekat lokasi proyek tidak diikutsertakan. Tapi anehnya, ada warga bernama Sulistiono yang bukan pemilik lahan justru diundang," ujarnya.
Dalam forum tersebut, pihak PLN dan JPN menunjukkan dokumen sosialisasi yang telah dilakukan pada Januari 2017, Agustus 2018, dan November 2020. Dari dokumen itu terungkap bahwa Sulistiono ternyata pernah tercatat sebagai pemilik lahan terdampak sebelum proses ruislag tanah desa dilakukan. Namun kini, dia justru bergabung dengan kelompok warga yang menolak proyek gardu induk tersebut.
Audiensi sempat berjalan dinamis, namun belum rampung karena sejumlah warga penolak akhirnya walkout (WO) dari ruang rapat.
Sementara itu, Manager Pertanahan dan Aset PLN UIP JBT Kusumaning Ayu menjelaskan tidak semua warga diundang dalam sosialisasi karena mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
"Yang diundang dalam sosialisasi hanyalah masyarakat pemilik tanah yang terdampak pembangunan. Kami juga memiliki dokumentasi dan daftar hadir sebagai bukti pelaksanaan sosialisasi," ujarnya.
Baca juga: Cerita Luffi, Srikandi PLN yang terjun tangani banjir di Kudus