Puing-puing rivalitas dalam Pemilihan Presiden 2014 hingga kini masih berserakan. Remah-remah hasil pertarungan politik itu terus diproduksi, dengan area persebaran yang kian melebar dan sulit dikontrol seiring dengan meluasnya penggunaan internet dan media sosial.
Puing-puing rivalitas tersebut seolah bangkit kembali, lalu membentuk formasi baru untuk saling sergap, serang, serta saling melumpuhkan dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Komisi Pemilihan Umum sudah menetapkan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih.
Namun, bukan berarti perseteruan dua kubu besar yang terjadi selama ini sudah usai. Setidaknya itulah yang terekam di media sosial, seperti Twiiter, Facebook, dan Instagram. Kecurigaan dan kebencian seolah menjadi bagian hidup sehari-hari ketika kita membuka telepon pintar.
Seolah-olah dalam hidup ini pilihannya hanya "kami" dan "mereka", tidak menyisakan ruang bagi "kita".
Padahal, ketika kita sepakat menggunakan demokrasi sebagai pilihan dalam berbangsa dan bernegara, seharusnya ruang "kita" diperlebar, diperluas. "Kita" adalah ruangan yang memberi tempat terhormat bagi setiap keberagaman dan perbedaan. Mengapa? Karena keberagaman merupakan keniscayaan sehingga setiap insan harus berlapang dada menerima perbedaan.
Kesadaran kolektif atas kebhinnekaan yang bersemayam pada bangsa Indonesia sejak zaman pra-Kemerdekaan RI seharusnya bisa menjadi perekat ketika bangsa ini tengah dilanda ancaman konflik horisontal.
Produksi konten yang berpotensi memicu konflik sosial terus terjadi, setidaknya terekam melalui media sosial. Ajakan untuk menentang dan tidak mengonsumsi informasi palsu (hoaks) sering didengungkan. Namun, dalam masyarakat yang sudah terbelah menjadi "mereka" dan "kami", mereka cenderung percaya dan nyaman dengan informasi yang selaras dengan preferensinya, sekalipun informasi masih harus diuji lagi kebenarannya.
Ini memang bukan fenomena khas Indonesia, melainkan dunia. Bahkan di negara semaju Amerika Serikat, berita-berita palsu juga sengaja diproduksi dengan tujuan memperoleh uang yang didaur dari iklan.
Dirjen Informasi Komunikasi Publik Kemeninfo, R. Niken Widiastuti, dalam acara di Kota Semarang, medio Mei 2017 mengungkapkan bahwa berita hoaks sudah menjadi industri karena memang memberi keuntungan bagi pelakunya.
Pelaku industri berita hoaks tersebut tidak peduli apakah infomasi yang disajikan akan memicu konflik sesama dan memecah bangsa atau tidak. Bagi mereka, ideologinya hanya satu: uang. Sementara "ideologi" kanan, kiri, atau tengah yang mereka lekatkan, itu tidak lebih untuk memperkuat "brand", untuk jualan informasi hoaks.
Satu sikap yang wajib dimiliki yakni skeptis atas setiap informasi. Sikap inilah yang bisa menjaga nalar tetap waras sebagai bagian dari sebuah bangsa yang beradab.
Puing-puing rivalitas tersebut seolah bangkit kembali, lalu membentuk formasi baru untuk saling sergap, serang, serta saling melumpuhkan dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Komisi Pemilihan Umum sudah menetapkan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih.
Namun, bukan berarti perseteruan dua kubu besar yang terjadi selama ini sudah usai. Setidaknya itulah yang terekam di media sosial, seperti Twiiter, Facebook, dan Instagram. Kecurigaan dan kebencian seolah menjadi bagian hidup sehari-hari ketika kita membuka telepon pintar.
Seolah-olah dalam hidup ini pilihannya hanya "kami" dan "mereka", tidak menyisakan ruang bagi "kita".
Padahal, ketika kita sepakat menggunakan demokrasi sebagai pilihan dalam berbangsa dan bernegara, seharusnya ruang "kita" diperlebar, diperluas. "Kita" adalah ruangan yang memberi tempat terhormat bagi setiap keberagaman dan perbedaan. Mengapa? Karena keberagaman merupakan keniscayaan sehingga setiap insan harus berlapang dada menerima perbedaan.
Kesadaran kolektif atas kebhinnekaan yang bersemayam pada bangsa Indonesia sejak zaman pra-Kemerdekaan RI seharusnya bisa menjadi perekat ketika bangsa ini tengah dilanda ancaman konflik horisontal.
Produksi konten yang berpotensi memicu konflik sosial terus terjadi, setidaknya terekam melalui media sosial. Ajakan untuk menentang dan tidak mengonsumsi informasi palsu (hoaks) sering didengungkan. Namun, dalam masyarakat yang sudah terbelah menjadi "mereka" dan "kami", mereka cenderung percaya dan nyaman dengan informasi yang selaras dengan preferensinya, sekalipun informasi masih harus diuji lagi kebenarannya.
Ini memang bukan fenomena khas Indonesia, melainkan dunia. Bahkan di negara semaju Amerika Serikat, berita-berita palsu juga sengaja diproduksi dengan tujuan memperoleh uang yang didaur dari iklan.
Dirjen Informasi Komunikasi Publik Kemeninfo, R. Niken Widiastuti, dalam acara di Kota Semarang, medio Mei 2017 mengungkapkan bahwa berita hoaks sudah menjadi industri karena memang memberi keuntungan bagi pelakunya.
Pelaku industri berita hoaks tersebut tidak peduli apakah infomasi yang disajikan akan memicu konflik sesama dan memecah bangsa atau tidak. Bagi mereka, ideologinya hanya satu: uang. Sementara "ideologi" kanan, kiri, atau tengah yang mereka lekatkan, itu tidak lebih untuk memperkuat "brand", untuk jualan informasi hoaks.
Satu sikap yang wajib dimiliki yakni skeptis atas setiap informasi. Sikap inilah yang bisa menjaga nalar tetap waras sebagai bagian dari sebuah bangsa yang beradab.