Hujan lebat masih terus mengguyur sejumlah wilayah di Jawa Tengah. Bahkan beberapa daerah, seperti di Kabupaten Pekalongan dan Brebes, dilanda banjir.

Agustus dan September seharusnya memang puncak musim kemarau, namun seperti dilansir Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kemarau basah yang saat ini sedang terjadi merupakan pengaruh dari anomali hujan.

Kepala BMKG Andi Eka Sakya menjelaskan bahwa hingga saat ini sebanyak 27,2 persen wilayah di Indonesia belum memasuki musim kemarau dan masih terus diguyur curah hujan tinggi.

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, minta petani memanfaatkan musim kemarau basah saat ini untuk bercocok tanam padi sehingga produksi padi meningkat. Curah hujan tinggi saat ini seperti berkah, setidaknya bagi petani padi tadah hujan.

Tanpa ada kemarau basah, petani tadah hujan paling banyak bisa panen dua kali, sedangkan pada musim kemarau basah mereka bisa panen hingga tiga kali sepanjang sawah mereka tidak digenangi air bah yang merusak tanaman.

Luas tambah tanam padi di Jateng pada kemarau basah ini seluas 845.000 hektare atau bertambah 128.000 ha dari luas sebelumnya sebanyak 717.000 ha.

Namun, tidak semua petani menyambut gembira datangnya kemarau basah. Pengelola tambak garam di pesisir pantai utara Jawa termasuk menganggap curah hujan di musim kemarau itu sebagai musibah. Produksi garam yang dihasilkan petani di daerah pesisir di Jawa Tengah diperkirakan menurun hingga 50 persen akibat musim kemarau basah.

Sejumlah pengelola tambak garam di pesisir Rembang dan Pati mengurangi aktivitasnya karena hujan masih terus turun sehingga bila memaksakan diri bakal menuai kerugian.

Produksi garam pada 2015 mencapai 841.543 ton dari luasan lahan sekitar 6.608 hektare yang tersebar di Kabupaten Rembang, Pati, Brebes, Jepara, dan Demak. Namun, kemarau basah pada tahun ini diperkirakan menurunkan produksi garam tambak rakyat.

Keresahan juga dialami petani tembakau di Kabupaten Tembanggung, sentra tanaman tembakau di Jateng. Kemarau basah saat ini diperkirakan menyebabkan 20-50 persen tanaman tembakau rusak.

"Cuaca yang kurang bagus akhir-akhir ini mengakibatkan daun tembakau di bagian bawah menguning," kata petani tembakau warga Bansari, Jumhar.

Sekitar 50 persen daun tembakau di Bansari menguning sehingga tidak bisa diproses menjadi tembakau rajangan kering. Kesedihan petani tembakau Bansari bertambah karena pabrik rokok belum juga membuka gudang untuk melakukan pembelian tembakau.

Mengingat kemarau basah yang dipicu La Nina saat ini memiliki implikasi beragam, seyogyanya setiap kabupaten dan kota memiliki perlakuan (treatment) yang spesifik.

Pemprov Jateg juga perlu memantau perdagangan benih dan pupuk bersubsidi karena terjadi permintaan pada musim kemarau basah ini. Jangan sampai petani padi kekurangan benih dan pupuk di tengah peluang meningkatkan pendapatan dan penambahan stok padi di Jateng ini.

Menguningnya daun tembakau akibat guyuran hujan seperti terjadi di Bansari seharusnya memang diantisipasi oleh petani tembakau dan pemkab setempat untuk mengurangi risiko kerugian pada anomali cuaca saat ini. Begitu pula risiko gagal panen garam di wilayah pesisir.

Namun, diakui bahwa masalah yang dihadapi petani sangat kompleks. Apalagi bila lahan itu menjadi satu-satunya tempat menggantungkan hidup. Akibatnya, setinggi apa pun risikonya, pilihan mereka tetap mengolah lahan.

Oleh karena itu, bila pada musim kemarau basah sekarang ini petani tembakau dan petambak garam mengalami kesulitan hidup, sudah selayaknya pemerintah turun tangan untuk meringankan beban hidup mereka. ***

Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024