Ada apa di balik kucuran dana dari luar negeri kepada sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi, dan instansi pemerintah agar mereka mengampanyekan antirokok di Indonesia? Vide: http://www.jpnn.com/read/2016/08/22/462536/Wow-Inilah-Penerima-Dana-Asing-untuk-Kampanye-Antirokok.

Di tengah gencarnya kampanye antirokok di Tanah Air, muncul wacana penaikan harga rokok hingga Rp50 ribu per bungkus. Sontak publik pun ada yang pro dan kontra. Ribuan petani tembakau Kabupaten Temanggung pun berunjuk rasa menolak usulan penaikan harga rokok di halaman Gedung DPRD Kabupaten Temanggung, Selasa (23/8). Mereka beranggapan pertembakauan akan menjadi permasalahan, tidak hanya di tingkat kabupaten/kota, tetapi juga nasional. Pasalnya, harga rokok yang relatif tinggi akan berdampak pada penurunan permintaan rokok yang akan berujung pada pengurangan tenaga kerja di pabrik. Tidak pelak lagi, angka pengangguran pun bertambah.

Sebelumnya, Studi Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, melakukan survei terhadap 1.000 orang dari 22 provinsi dengan tingkat penghasilan di bawah Rp1 juta sampai di atas Rp20 juta. Hasilnya, sebanyak 82 persen responden menyetujui penaikan harga rokok untuk mendanai jaminan kesehatan nasional (JKN). Bahkan, sebanyak 72 persen dari total responden itu menyatakan akan berhenti merokok jika harga satu bungkusnya di atas Rp50 ribu.

Dengan harga sebesar itu, di satu sisi bertujuan mengurangi jumlah perokok, di sisi lain Pemerintah—sebagaimana pernyataan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi yang tersiar di sejumlah media—untuk menambah pemasukan sekaligus melindungi kesehatan masyarakat. Khusus cukai rokok, persentasenya melebihi target yang termaktub dalam Undang-Undang Perubahan atas UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBNP) 2015, yakni 100,3 persen. Adapun penerimaan dari kepabeanan dan cukai dengan perincian: sebesar Rp31,9 triliun dari bea masuk, Rp144,6 triliun dari cukai, dan Rp3,9 triliun dari bea keluar. Target penerimaan dari bea dan cukai dalam APBNP 2015 sebesar Rp195 triliun. Disebutkan pula, sebanyak 96,4 persen dari penerimaan cukai disumbangkan dari cukai rokok (Rp139,5 triliun).

Jika kampanye antirokok yang mendapat sokongan dari pihak asing itu berhasil mengurangi jumlah perokok, penerimaan cukai yang nilainya ratusan triliun rupiah itu pun kemungkinan besar berkurang seiring dengan menurunnya tingkat produksi pabrik rokok di Tanah Air. Pemerintah patut mempertimbangkan kembali terkait dengan wacana penaikan harga rokok yang fantastis itu. Setelah tidak adanya kontribusi dari cukai, Pemerintah bisa menjamin APBN tetap sehat? Ada tidak kompensasi bagi rakyat Indonesia yang kehilangan pekerjaan gara-gara pabrik rokok gulung tikar? Langkah apa saja guna membendung impor rokok?

Sejumlah LSM, perguruan tinggi, dan instansi pemerintah yang gencar mengampanyekan antirokok tampaknya secara gradual "mematikan" industri rokok di Tanah Air atau menggunakan ungkapan yang lebih halus (eufemisme) "membatasi produksi rokok nasional secara bertahap". Apa pun istilahnya, dalam kurun waktu 5 tahun, sebanyak 4.300 pabrik tutup (vide: http://www.kretek.co/index.php/2016/06/01/dalam-5-tahun-pemerintah-tutup-4-300-pabrik).

Bupati Kudus H. Musthofa—saat menjadi salah satu narasumber di program Indonesia Lawyers Club (ILC) di TVOne, Selasa (23/8)—mengkritisi rencana penaikan harga rokok tersebut. Musthofa menegaskan bahwa warganya bakal menderita bila harga rokok mengalami penaikan. Pasalnya, sekitar 12 persen dari total penduduk Kabupaten Kudus adalah pekerja pabrik rokok. Tidak mengherankan bila Musthofa menekankan, "Jangan sampai rakyat kami menjadi pengangguran karena adanya penaikan rokok yang begitu tinggi."

Pewarta : -
Editor : D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024